Setiap orang berasal dari wilayah Sumatera Utara yang merantau ke daerah lain seperti ke Jakarta dan kota-kota lain di luar Sumatera Utara sering digeneralisir sebagai orang Batak. Padahal, seringkali mereka berasal dari etnis lain misalnya Melayu atau Jawa (ketiganya adalah etnis dominan di Sumatera Utara), sehingga mereka merasa seolah olah ada kesan hegemoni orang Batak (khususnya sub-etnis Batak Toba) di Provinsi ini. Dalam perspektif yang bercampur dengan sentimen sosial, ini bisa dianggap sebagai bentuk penjajahan atas indentitas mereka
Tetapi, benarkah orang Batak benar-benar menjajah identitas orang-orang non-Batak di Sumatera Utara?
Dalam sejarah orang Batak, yang diwariskan secara turun-temurun dari mulut ke mulut, dikenal sebuah ungkapan “madekdek sian langit, mapultak sian bulu.” Secara harfiah, ungkapan ini dapat diartikan “Jatuh dari langit, keluar dari batang bambu.”
Penyebaran orang Batak yang cukup fantastis secara statistik menjadi salah satu dari sekian alasan atas sulitnya menelusuri fakta historis dan garis genealogisnya secara akurat. Hal ini didukung oleh fakta bahwa bahkan atas satu marga yang sama, bisa muncul banyak versi, baik dari pemakai marga itu sendiri, maupun orang Batak dari marga lain yang mengaku cukup mengerti sejarah dari marga yang dimaksud.
Dalam tataran kritik historis, tentu saja ungkapan “Madekdek sian langit, mapultak sian bulu” ini bertentangan dengan akal sehat serta teori umum bahwa orang Batak merupakan keturunan ras Mongol yang bergerak dari Yunan, Cina Selatan.
Tetapi, mengapa ungkapan ini tetap terpelihara dengan baik, bahkan hingga dewasa ini? Hal ini bisa kita mengerti jika kita memahami bagaimana orang Batak memandang diri mereka sendiri dalam ranah praksis kehidupan sosial sehari-hari.
Setiap orang Batak akan dengan bangga menyebut dirinya “Anak ni Raja” (putra raja) atau “”Boru ni Raja” (putri raja). Dalam upacara-upacara adat, seperti upacara perkawinan atau upacara kematian, hal ini akan dengan mudah dilihat. Semua hadirin disapa dengan embel-embel “raja”: Raja ni Hula-hula, Raja ni Dongan Tubu/Sabutuha, Raja ni Boru, Raja ni Dongan Sahuta, Boru ni Raja dan lain sebagainya. Gelar kehormatan ini diberikan tanpa memandang jenis kelamin, status sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.
Sifat dan karakteristik ini kemudian menjadi unik dan menarik karena telah menjadi darah dan daging orang Batak. Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip ini memengaruhi cara hidup orang Batak. Sisi negatifnya ialah: Jika sebutan “raja” ini digaungkan secara berlebihan, tentu rentan untuk melahirkan sentimen sosial bahkan diskriminasi baik dalam bentuk yang halus maupun yang kasar.
Sisi positifnya, hal ini membantu orang Batak untuk memiliki daya bertahan hidup yang cukup baik. Ketika harapan untuk hidup layak di kampung halaman sendiri semakin kecil, orang Batak selalu siap untuk merantau hingga ke pelosok tanah air, bahkan ke ujung dunia sekalipun, asalkan tetap menjadi raja atas diri sendiri. Mungkin ini salah satu alasan mengapa orang Batak bisa djumpai pada hampir semua profesi. Mulai dari pemulung, supir/kernet, pedagang asongan/kaki lima, hingga pejabat tingggi di lingkungan pemerintahan. Setiap orang Batak akan merasa bahwa karakter pantang menyerah dan ingin hidup terhormat inilah yang membuatnya tetap merasa layak menyandang sapaan “anak ni raja” dan “boru ni raja” tadi.
Kehausan akan pengakuan sebagai “anak ni raja” dan “boru ni raja” ini juga jelas mencuat dalam fenomen banyaknya “punguan” (perkumpulan), baik perkumpulan semarga, segaris keturunan, atau perkumpulan sekampung halaman, yang sengaja dibentuk sebagai wadah perjumpaan dengan sesama perantau.
Di samping sebagai wadah untuk mempererat hubungan silaturahmi dan kekerabatan dengan sesama, perkumpulan seperti ini juga merupakan wadah untuk menanamkan suatu prinsip agar orang Batak. Salah satu tujuannya adalah untuk ambil peduli terhadap nasib sesamanya dan sebisa-bisanya terlebih dahulu memberi uluran tangan kepada saudara yang membutuhkan. Kepedulian terhadap sesama kemudian menjadi karakteristik lain dari seorang “anak ni raja” dan “boru ni raja”. Kepedulian ini menjadi sebentuk kontrol sosial juga. Setiap orang akan berusaha bertutur kata, berperilaku, dan beretiket sebagaimana layaknya keturunan raja. Meskipun, toh setiap orang Batak tahu bahwa tidak semua leluhur mereka memiliki istana, pasukan, dan atribut kerajaan lainnya.
Sayangnya, makna dari sapaan “anak ni raja” dan “boru ni raja” ini ternyata sangat multitafsir. Ketika sesama orang Batak bertemu, kemampuan untuk menjelaskan garis genealogis (“tarombo”) dari masing-masing “anak ni raja” dan “boru ni raja” ini ternyata kerap menjadi indikator berikutnya. Setiap orang akan berupaya menyebutkan garis silsilahnya, kalau bisa selengkap mungkin. Konsekuensi logisnya: Yang tidak bisa menyebutkan tarombo-nya akan dituntut untuk kembali mempertanyakan benar tidaknya dia “anak ni raja” dan “boru ni raja”, benar tidaknya dia orang Batak. Kepada kelompok yang terakhir inilah, ungkapan ““madekdek sian langit, mapultak sian bulu” sering dialamatkan.
Jika ditanggapi secara sentimentil, ungkapan “madekdek sian langit, mapultak sian bulu” ini bisa dianggap sebagai bentuk perlakuan tidak adil. Mengingat bahwa orang yang menyebutkan dan alamat sebutan ini adalah sama-sama orang Batak.
Namun, jika ditanggapi secara arif, ini bisa jadi pemicu bagi generasi muda Batak zaman sekarang untuk tetap mengembangkan dirinya tanpa tercerabut dari akar budanyanya. Akar budaya yang dimaksud mencakup kemampuan untuk menggunakan bahasa Batak, mengerti ritus-ritus upacara adat Batak, dan masih bisa menjelaskan “tarombo”nya kepada orang lain, sesama Batak maupun non-Batak.