Margaku Haromunthe, Identitasku Haromunthe.

haromunthe

Dewasa ini, di tengah-tengah gejala semakin teralienasinya manusia dari lingkungannya, muncul kerinduan untuk kembali menggali nilai-nilai pribadi dan keberadaannya dalam lingkup yang besar. Cakupannya meliputi rentang yang luas, mulai dari lingkup keluarga, keluarga besar, etnisitas dan nasionalitas, bahkan sampai pada kesadaran kosmopolitanisme dan internasionalisme. Apapun alasannya, fenomen seragam hadir dalam berbagai konteks masyarakat, yakni kehausan untuk mengetahui seberapa dalam dan luasnya identitasnya di antara manusia lainnya.
Dalam “Communication Between Cultures” (2009), Stella Ting Toomey menyebutkan bahwa identitas merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Sementara itu, Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap.

Bagi orang Batak, marga adalah bagian dari identitas yang tidak bisa diganti dengan mudahnya, tidak bisa dihilangkan atau disangkal dan akan melekat hingga ajal. Jika Aku adalah orang Batak dari sub-etnis Batak Toba, upaya pertama yang harus aku lakukan adalah menggali sumber-sumber mana yang bisa dijangkau untuk mengetahui seberapa kadar kebatakanku. Seorang yang bernama Ahmad Haromunthe tidak akan mengalami begitu kesulitan untuk mendefinisikan “Ahmad” karena dengan mudah ia akan menemukan posisi nama itu dengan membandingkannya pada manusia lain di sekitarnya yang menggunakan nama selain Ahmad: Iqbal, Ali, Imron, Paul, Joni misalnya. Pencariannya bermula ketika orang bertanya padanya: “Ahmad, apa arti Haromunthe yang tercantum pada namamu itu?” Konkretnya, setelah nama pribadi, marga adalah unsur pembentuk identitas yang sama vitalnya dengan nama panggilannya tadi. Kurangnya sumber yang bisa ditemui tak ayal bisa sampai pada tingkat ekstrim dimana seorang Batak sampai pada krisis identitas. Situasi seperti ini tentu ingin dihindari oleh siapapun.

 

Krisis ini bisa meredam ketika seseorang mulai mengetahui dan mengenali apa saja yang berasosiasi atau berafiliasi dengan marganya. Ada kebanggaan ketika Ahmad mengetahui apa tarombo dari marga Haromunthe, siapa saja marga Haromunthe yang sudah lebih dahulu mencapai sukses darinya dan dikenal luas, seberapa besar statistik dari rekan semarganya, apa saja perkumpulan semarga yang ada dan apa saja yang telah mereka lakukan sebagai kontribusi terhadap masyarakat dimana mereka tinggal. Tapi bisa mencuat kembali tatkala peng-aku-annya terhadap marga itu digugat, misalnya ketika ternyata kualitas buruk yang dimiliki oleh rekan semarga juga turut disematkan padanya.

Konsekuensi sosialnya ialah: Marga bisa menjadi alasan kebanggaan jika ada orang lain yang semarga dengan kita ternyata mempunyai kredit atau kualitas unggul. Marga bisa juga menjadi beban karena dengan mudah saja teman semarga yang dengan kualitas buruk akan diasosiasikan dengan kita. Jika, misalnya, seorang bernama X Haromunthe tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan diberitakan media massa, semua orang lain yang bermarga Haromunthe bisa saja menanggung sentimen sosial mengingat godaan untuk menggeneralisasi memang masih menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat Indonesia dewasa ini. Hal ini bisa terjadi marga lain, baik dari subetnis Batak Toba maupun subetnis Batak yang lain, atau pada suku lain yang mempunyai sistem marga juga.

Karena itu, ada seruan moral untuk menjaga nama baik marga dengan baik. Marga yang adalah identitas itu, tidaklah semata-mata menjadi identitas diri saja, melainkan identitas sekumpulan orang Batak yang bernaung di bawahnya. “Satu yang makan cempedak, semua kena getahnya.” Ini adalah salah satu peribahasa yang mesti diingat bagi segenap orang Batak. Karakter marga akan ditentukan oleh citra masing-masing individu yang menyandangnya. Terlebih lagi, Batak dikenal sangat kokoh dalam ikatan darah dan kekerabatan genealogis tetap terjaga, maka marga ini juga menjadi pengikat yang kuat.

Tulisan lainnya...