Marga: Menyatakan Jati Diri, atau Menggabungkan Diri?

proud

Beberapa diskusi di dunia maya mengenai tarombo menghasilkan beberapa fakta atau informasi baru yang menarik.

Antara lain adalah mengenai marga Dalimunthe. Beberapa kali bertemu dengan marga Dalimunthe di kota tempat tinggal saya, mereka mengaku keturunan dari Simbolon, bukan dari Munthe Tua. Namun baru-baru ini saya memperoleh informasi kalau ternyata ada saudara bermarga Dalimunthe dari Gunung Tua ternyata merupakan pomparan dari Ompu Jelak Maribur juga, sama dengan Haromunthe.

Begitu juga dengan Haromunthe. Margaku ini memang unik.

Pertama, awalnya saya pikir keturunan Op. Jelak Maribur yang bermarga Haromunthe memang sedikit, karena memang sangat jarang saya temukan. Ternyata saya temukan di Facebook, saudara-saudara kami sangat banyak (kendatipun statistik akun masih bisa dipertanyakan, mengingat verifikasi akun di Facebook masih memungkinkan satu orang memiliki lebih dari satu akun), tapi sayang sekali hanya sedikit yang menyematkan marga Haro[Munthe]nya. Kesediaan untuk menyematkan atau tidak menyematkan 4 huruf ini (H-A-R-O) dari marganya saya lihat menghasilkan perdebatan panjang nan kunjung henti. Tapi sejauh saya amati, kesediaan/ketidaksediaan ini tidak jauh-jauh dari posisi marga Haromunthe dalam konteks Padan (Tona?) Naiambaton (Punguan Parna).

Kedua, selain mengenai posisi marga Haromunthe dalam Parna, adalah hubungannya dengan Haro keturunan Aritonang, yakni Haro Rajagukguk.
Selama ini sebagaimana lainnya sikap yang ditunjukkan orang Batak saat aju pendapat mengenai marga, dengan yakin dan lantang akan mengatakan Haromunthe itu adalah keturunan dari Munthe Tua, tidak ada hubungannya dengan Aritonang.

Tapi belakangan saya mencoba sedikit menarik diri. Berhenti melihat tarombo melulu dari sudut pandang keturunan Munthe Tua dari Op. Jelak Maribur, dan mulai melihat  tarombo dalam konteks yang lebih besar, yakni genealogi (pohon silsilah) marga Batak.

Usaha riset yang sudah banyak dicoba dilakukan beberapa orang mengenai genealogi marga Batak hingga sekarang tidak ada yang final. Saat membaca buku Tarombo Batak karangan Waldemar Hutagalung, malah membuat kening mengkerut. Meskipun upayanya menyusun tarombo adalah suatu hal yang sulit dan layak dihargai, namun sejauh yang saya amati, terkesan terlalu Toba-sentris atau berpusat pada versi Tarombo Batak dari puak Toba. Dan memang kenyataannya, sekarang ini masing-masing punguan marga Batak membentuk dan menyepakati sejarah marganya dari data yang masing-masing mereka punya, dan seringkali tidak sesuai dengan tarombo yang disusun Waldemar Hutagalung.

Kembali lagi ke pandangan mengenai tarombo sebagai pohon silsilah di masyarakat Batak.

Dirunut dari makna tarombo atau silsilah itu sendiri, adalah berdasarkan keturunan biologis. Hal ini berlaku di belahan bumi manapun, tak terkecuali Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, dan puak atau suku lainnya. Perbedaan baru muncul kala kita melihat dua metode pewarisan atribut marga atau gelar bagi keturunan, yakni sistem patrilineal yang berdasarkan pihak laki-laki langsung (ayah), atau matrilineal yang berdasarkan pihak perempuan langsung (ibu).

Bagaimana dengan marga? Dalam tarombo Batak marga baru bisa muncul di tingkatan atau sundut mana saja. Tergantung sebab dari akibat lahirnya marga baru tersebut, kita sebut dengan istilah “manjae”.

Sampai saat ini, tidak ada yang aneh. Cukup sederhana. Pemahaman mengenai konsep marga Batak tidak serumit ilmu Aljabar Linear yang membuat para mahasiswa mengernyitkan dahi di bangku perkuliahan. Singkatnya, marga itu adalah atribut yang menyatakan identitas diri, yang didasarkan pada garis keturunan. Tapi bagaimana fakta dan penerapannya?

Karena berbagai faktor tertentu, banyak marga-marga Batak yang tidak jelas posisinya, sejarahnya, garis keturunan yang tumpang tindih, dan lain-lain. Hal ini tidak hanya berlaku bagi marga yang baru muncul di kemudian hari, tapi juga marga awal yang lebih tua. Dan karena hal ini, baik di dunia nyata maupun di dunia maya (internet, media sosial), tak henti-hentinya muncul aju dan adu pendapat mengenai kebenaran versinya masing-masing, dari yang debat intelek hingga debat kusir sampai dengan caci-maki.

Pada akhirnya harus diakui, kebenaran yang mutlak tidak akan pernah ditemukan, karena kisah nyata dari sejarah dari semua versi tersebut terjadi ratusan tahun yang lalu, atau bisa lebih. Akhirnya saat menanyakan marga dan muasal marga dari sesama marga Batak, tidak bisa berdasarkan asumsi atau pengetahuan dari penanya, melainkan mau tidak mau harus  berdasarkan PENGAKUAN dari si empunya marga itu sendiri.
Misalkan saya sendiri, mengaku marga Haromunthe sebagai keturunan Raja Batak dari Munthe Tua dari Ompu Jelak Maribur dari Op. Tuan Namabue, dan leluhur di tingkatan-tingkatan bawahnya. Dan pengakuan itu berdasarkan sejarah dan garis keturunan marga Haromunthe, yakni dari Ompu Jelak Maribur yang mangalap (menikahi) boru Lumban Tongatonga. Dan mayoritas masyarakat Batak mengambil sikap mengakui identitasnya berdasarkan cerita sejarah lisan yang diwariskan turun temurun dari leluhurnya. Bagaimana sejarah marga itu terbentuk, baik yang berisi cerita hebat maupun berisi alur yang kurang mengenakkan, dan itu harus diakui semuanya, karena sejarah itulah yang menyebabkan dia ada di dunia ini. Pengakuan seperti ini akan mendekatkan dia dengan saudara-saudaranya seleluhur yang mau mengakui versi sejarah yang sama atau mirip pula.

Namun karena cerita lisan leluhur gampang terkaburkan atau terdistorsi, pengakuan semacam ini pula yang menyebabkan banyak ketidakjelasan atau keambiguan sejarah dan posisi marga-marga tertentu.

Contoh nyata: Marga Munthe.

Ada yang mengaku keturunan Munthe Tua

Ada yang mengaku keturunan dari Tamba Tua (Siambaton/Munthe Dolok Sanggul),

Ada yang mengaku murni keturunan dari Saragih Simalungun tanpa ada hubungan dengan Munthe Tua dari Samosir.

Haromunthe:
ada yang mengaku keturunan Munthe Tua dari Op. Jelak Maribur:
tapi ada juga yang mengaku keturunan Aritonang dari Op. Datu Sangap Nauli.

Khusus untuk Haromunthe keturunan dari Munthe Tua:
ada yang mengaku marga Haromunthe sebagai marga yang tidak diikat poda Naiambaton karena sejarah dari marga Haromunte itu sendiri,
tapi ada juga yang tidak mau menyematkan Haro nya dan cukup memakai marga Munthe saja.

Dalimunthe: ada yang mengaku keturunan Simbolon (beberapa teman yang kutemui di kota tempat tinggal saya MENGAKUI hal ini),
ada yang mengaku keturunan Munthe Tua dari Baruang Sodopahon yang diakui sebagai ayah dari Op. Jelak Maribur di Gunung Tua.

Muncullah pertanyaan: dari beberapa contoh kecil di atas, versi mana yang benar?
Ada beberapa kemungkinan:
1) Semua benar
2) Beberapa di antaranya benar, yang lain salah
3) Semua salah

Yang dibutuhkan disini adalah kemauan untuk upaya menelusuri garis keturunannya dari leluhur hingga ke dirinya, atau sebaliknya dari dirinya ke leluhur yang “melahirkan” marga yang disandangnya tersebut.

Setelah melakukan penelusuran, akan ada saat dimana hasilnya tidak sesuai dengan versi atau bahkan marga yang disandangnya selama ini. Atau mungkin ada cerita dalam sejarah itu yang kurang bagus didengar. Disinilah dibutuhkan kebesaran hati, apakah dia mau percaya diri MENGAKUI identitas marga dan semua sejarahnya, atau malah enggan atau malu menyematkan marga tersebut karena ada versi cerita sejarah yang tidak disukai, atau mungkin ada benefit atau keuntungan yang hilang jika dia mau MENGAKUI marganya tersebut.

Jika ternyata sikap yang diambil adalah yang terakhir, muncullah masyarakat Batak yang tidak MENGAKUI identitasnya, dan mulai MENGAKU-NGAKU.

Saya pernah mendapat pertanyaan dari seorang teman dari puak Simalungun: “Orang Toba sangat bangga mengenai identitas ke-Batak-annya, tapi anehnya mengapa orang Toba terlalu gampang mengkompromikan identitas marganya agar bisa bertahan hidup di perantauan? Pergi ke wilayah A, gabung ke marga besar yang ada di wilayah itu, pergi ke wilayah B, ganti lagi marganya, sementara leluhur marga yang dipakainya itu berbeda-beda?”

Sebagai orang Toba, ada keinginan untuk membantahnya dengan sejumlah argumen, tapi harus saya akui, pertanyaan itu ada benarnya juga.
Atas dasar keinginan menggabungkan diri dan diakui dalam kumpulan masyarakat yang lebih besar, banyak yang mengganti atribut marganya, menutup-nutupi sejarah marga dan leluhurnya. Sepantasnya, apapun versi sejarah marga yang dipegangnya, hendaklah itu dijadikan jati diri dan dinyatakan dengan bangga dan percaya diri. Jangan di daerah A mengatakan dari leluhur B, di daerah C mengaku dari leluhur D, yang pada akhirnya mewariskan sejarah marga yang kabur dan terdistorsi bagi keturunannya nanti. Jati diri tidak seharusnya dihilangkan agar bisa menggabungkan diri.

Semoga saja hal ini tidak terjadi pada keturunan marga Haromunthe, marga yang disematkan pada keturunan Ompu Jelak Maribur dari istrinya br. Tamba Lumbantongatonga.

Tulisan lainnya...