Agora (bahasa Yunani: Ἀγορά, Agorá) adalah tempat untuk pertemuan terbuka di negara-kota di Yunani Kuno. Pada sejarah Yunani awal, (900–700 SM), orang merdeka dan pemilik tanah yang berstatus sebagai warga negara berkumpul di Agora untuk bermusyawarah dengan raja atau dewan. Di kemudian hari, Agora juga berfungsi sebagai pasar tempat para pedagang menempatkan barang dagangannya di antara pilar-pilar Agora. Dari fungsi ganda ini, muncullah dua kata dalam bahasa Yunani: αγοράζω, agorázō, “aku berbelanja”, dan αγορεύω, agoreýō, “aku berbicara di depan umum”. Istilah agorafobia digunakan untuk menunjukkan rasa takut terhadap tempat umum.
Forum Romawi merupakan bentuk pertemuan bangsa Romawi yang mengikuti Agora dan kadang-kadang disebut untuk menunjukkan Agora.
AWAL MULA DIKENALNYA AGORA OLEH BANGSA YUNANI.
Mari kita mulai dari sebuah kota yang kerap-kerap disebut pada zaman Yunani Kuno, yaitu Ephesus (baca: Efesus), yakni sebuah kota Yunani Kuno di sebelah barat dari Anatolia, sekarang kota Selçuk, Provinsi Izmir, Turki. Ephesus adalah salah satu dari dua belas kota dari liga Ionian dalam sejarah pemerintahan Yunani kuno. Dari bukti-bukti yang terkumpul diperkirakan Ephesus ini sudah di huni 6000 tahun Sebelum Masehi.Kota ini terkenal dengan candi Artemis yang selesai dibangun 550 SM, merupakan satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Kuno, Candi ini di robohkan di tahun 401 oleh massa yang di dalangi oleh St. Yohannes Chrysostomus. Kaisar Constantinus I membangun kembali kota ini, tetapi di tahun 614 sebagian hancur lagi karena gempa bumi. Kota yang menjadi pusat perdagangan ini pun melemah, terutama setelah pelabuhan yang semakin tahun makin tertutup oleh lumpur dan mengisolir kota ini. Kuil ini sendiri saat ini hanya berupa pilar-pilar yang tidak mencolok mata pada saat penggaliannya oleh Museum Ingris di tahun 1870an. Tentang bagaimana artefak untuk mempelajari sistem dan peradaban di kota ini diperkirakan masih berada dibawah tanah dan harus digali. Para ilmuan hanya bisa menjelaskan bahwa hujan dan banjir telah menenggelamkan Kota ke dalam tanah. Hanyutan lumpur menutup permukaan dermaga hingga sekarang menjadi tanah perkebunan. Tentu saja teori ini masih jauh dari kebenaran karena para arkeolog sendiri masih meragukan hipotesanya.
Yang menarik adalah ada dua ‘agora’ atau pasar komersial untuk melakukan bisnis negara juga tergali di sekitar kota ini.
Hari-hari di Efesus:
Anak-anak muda belajar di jalanan. Mereka berjalan-jalan, mengamati suatu objek yang menarik sambil sesekali berdiskusi di bawah bimbingan seorang guru. Celetukan, pertanyaan dan juga ocehan menjadi kurikulum tak tertulis mereka. Ada saja yang menarik perhatian mereka dan mereka haus untuk bertukar pikiran sembari memastikan apakah pendapat yang seorang sama dengan yang lain untuk hal/objek yang sama. Singkatnya, mereka belajar dengan mengamati apa saja yang mereka temui dalam perjalanan mengelilingi kota itu.
Mungkin karena inilah Simonides dalam salah satu syairnya berkata, “Kota mengajar manusia”.
Mereka belajar dengan memperhatikan, mendengarkan dan berdiskusi.
Mereka belajar geografi dengan mendengarkan obrolan pedagang yang baru kembali dari tanah seberang.
Mereka juga mempelajari berbagai keahlian, seperti pandai besi dan pertukangan kayu, dengan memperhatikan tukang bekerja di depan rumahnya masing-masing.
Mereka belajar politik dengan mendengarkan perdebatan orang di agora (pasar)
Mereka adu pendapat mengenai harga barang di pasar
Mereka bahkan sudah berani berargumen tentang pajak, pemerintahan, kebijakan senat yang bahkan di dua puluhan abad kemudian di sebuah wilayah berjuntai pulau di bawah pelukan hangat Khatulistiwa, orang bahkan harus menutup pintu untuk membicarakannya. (Stop … keep focusing, hehe)
Selanjutnya di hampir seluruh kota Yunani, termasuk Efesus juga, muncullah kaum Sofis yang memperkenalkan metode baru dalam pendidikan, yaitu orasi dan retorika. Mereka memanfaatkan kefasihan lidah mereka beragumentasi untuk menjelaskan suatu isu. Sayangnya banyak dari aliran sofistik itu bukanlah pelayan kebenaran, melainkan pelayan diri sendiri, yang memanfaatkan kelebihan mereka untuk mencari uang dan kedudukan.
Hingga suatu saat di antara mereka muncullah Sokrates di Athena, seorang yang pandai berdebat namun juga tertarik pada yang benar. Ia mampu mengalahkan para Sofis dalam perdebatan umum di pasar. Sokrates, yang mendapatkan julukan orang paling bijak di Yunani, mengubah metode pendidikan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas kepada pemuda-pemuda yang mengikutinya, untuk memaksa mereka berpikir.
Dan salah satu pengikutnya, Plato, akhirnya mendirikan sebuah sekolah, yang sebenarnya tidak lebih dari tempat kumpul-kumpul di sebuah taman bernama Akademos, sehingga sekolahnya diberi nama Akademia. Di sana mereka berargumen mengenai perihal alam, negara dan apa saja yang terpikirkan oleh mereka, meneruskan tradisi yang telah dibangun oleh Sokrates.
Salah satu murid Plato, Aristoteles, juga mendirikan sekolah dengan semangat yang kurang lebih sama meskipun dengan filsafat yang berbeda, bernama Lyceum. Kedua sekolah inilah yang menjadi landasan sebagian besar pemikiran di dunia hingga saat ini. Baiklah, sejauh ini kira-kira apa yang bisa kita dapatkan?
Mungkin sulit untuk membawa pembaca pada suasana di sebuah agora, di sebuah kota, di sebuah negara ribuan kilometer dari tempat duduk pembaca saat ini pada kurun puluhan abad sebelum sekarang. Wow …
Saya akan cukup puas jika setidaknya pembaca masih ingat kata-kata ini saja:
Yunani,
Efesus,
ribuan tahun lalu,
agora,
Sokrates
dan Akademia.
Itu sudah lebih dari cukup. Lho kok?
Agora di Efesus pada ribuan tahun lalu telah berhasil menciptakan iklim pengetahuan yang berbicara banyak pada sejarah setelah susah payah akhirnya berhasil juga melahirkan maestro pengetahuan sepanjang masa, Sokrates, serta merintis sistem pendidikan modern di hampir seluruh dunia dewasa ini, yaitu Akademia.
Selesai sudah tugas saya memberi sedikit pengantar tentang agora dan Efesus.
Lantas, apa hubungannya dengan Toba dan Samosir?
Memangnya, ada hubungan historis? Atau Sokrates pernah meliput di Danau Toba begitu? Hahaha .. tentulah saya tidak se-akronistik itu.
Saya coba buat paralelisme untuk mengajak pembaca masuk ke dalam apa yang saya maksud.
Efesus – Samosir
Orang Yunani – Orang Batak Toba
Berdiskusi – “Markombur” (ngobrol ngalur-ngidul)
Agora – Lapo
Pulau Samosir, yakni pulau di tengah Danau Toba, Sumatera Utara, Indonesia. Pulau Samosir adalah sebuah pulau vulkanik di tengah Danau Toba di provinsi Sumatera Utara. Sebuah pulau dalam pulau dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut menjadikan pulau ini menjadi sebuah pulau yang menarik perhatian para turis.Beberapa nama objek wisata di pulau ini tentu sudah familiar setidaknya bagi para turis yang pernah selfie di Danau Toba:
Tuktuk (pusat konsentrasi turis di Pulau Samosir)
Dari Parapat, Tuktuk dapat dihubungkan dengan feri penyeberangan. Selain perhubungan air, Pulau Samosir juga dapat dicapai lewat jalan darat melalui Pangururan yang menjadi tempat di mana Pulau Samosir dan Pulau Sumatera berhubungan. Pulau Samosir sendiri terletak dalam wilayah Kabupaten Samosir yang baru dimekarkan pada tahun 2003 dari bekas Kabupaten Toba-Samosir. Di pulau ini juga terdapat dua buah danau kecil sebagai daerah wisata yaitu Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang yang mendapat julukan “danau di atas danau”.
Kabupaten Samosir, yakni sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Sebagian wilayahnya mencakup Pulau Samosir.
Kabupaten Toba Samosir, yakni sebuah kabupaten di Sumatera Utara.
Samosir juga adalah salah satu marga dari Batak (Toba) yang berasal dari Kabupaten Samosir.
Pulau Samosir yang dikelilingi oleh Danau Toba dihuni oleh suku Batak, lebih spesifik lagi etnis Batak Toba.
Perihal orang Batak sendiri konon adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal. Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
R.W Liddle, seorang penulis, mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial. Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat “kelahiran” bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.
Baiklah, saya yakin, sampai sejauh ini mungkin banyak di antara pembaca yang perduli dengan tetek-bengek sejarah ini. Soalnya dari tadi belum kelihatan mana clue yang bisa menunjukkan, setidaknya indikasi adanya hubungan antara: Efesus – Samosir, Orang Yunani – Orang Batak Toba, dan Berdiskusi – “Markombur” (ngobrol ngalur-ngidul). Apalagi Agora – Lapo. Kalau pembaca masih belum bisa melihat hubungannya, pembaca tidak perlu khawatir. Pembaca tidak sendirian. Soalnya, saya juga belum bisa melihat hubungannya. Lha kok? Terus?
Kalau orang Yunani di Efesus punya agora, orang Batak Toba di Samosir (kemudian juga orang Batak Toba di seluruh dunia) juga punya kawah sendiri untuk berdialog, berdiskusi, adu argumen atau setidaknya untuk “say hello”, yakni lapo tuak. Lapo adalah kedai/warung seperti warung kopi (mungkin seperti Starbucks, Coffee Bean atau Kedai Kopi Ong yang terkenal itulah, haha …) yang sudah lumrah menjadi tempat nongkrong sekaligus latihan pecah rekor nyisip kopi paling lama yang pernah ada (betapa tidak secangkir kopi seharga Rp 40 ribuan bagi seorang karyawan dengan upah dua juta-an per bulan. You knowlah, that’s not like drinking mineral water, right?)
Bedanya adalah seperti namanya percakapan di antara para gentlemen Batak ini biasanya menjadi semakin hangat berkat adanya minuman tradisional beralkohol yakni tuak. (Soal berapa persen kadar yang dikandungnya memang sepengetahuan saya belum ada yang menghitungnya, mungkin nanti bisa jadi bahan penelitian untuk tugas akhir mahasiswa Batak yang siap-siap duduk lagi di semester-semester berikutnya. Hihihi … Kok saya jahat banget ya.) Dan seperti halnya minuman beralkohol, tentu akan tidak baik jika dikonsumsi dengan berlebih.
Baikah, saya tidak ingin larut dalam deskripsi tersebut, lagian ini sudah larut pagi (memangnya yang ada cuma larut malam, khan enggak).
Budaya diskusi orang Batak itu ternyata dibesarkan di lapo tuak. Orang-orang, tua dan muda, setelah pulang bertani selalu berkumpul di lapo tuak. Daerah-daerah seperti Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Simalungun, Tanah Karo, Sihemun Baru (yang terakhir ini cuma desa kecil sih, cuma .. ya namanya juga kampung halaman sendiri boleh donk dibangga-banggain, hehe …) dan masih banyak lagi memang didominasi dengan sektor pertanian. Dan meminum tuak pun lantaran kondisi daerah-daerah tersebut yang dingin.
Di lapo, orang-orang akan mengambil kesibukannya masing-masing. Ada yang sebatas duduk-duduk sambil mengobrol (markombur), ada yang bermain catur, bernyanyi, dan ada juga yang hanya makan lalu pulang. Semua itu pemandangan yang biasa di lapo.
Kembali ke soal diskusi tadi, di lapo orang-orang yang mengobrol biasanya akan memperbincangkan berbagai macam hal. Dari yang remeh temeh sampai ke diskusi soal negara. Diskusi biasanya akan berlangsung mulai dari suasana yang datar sampai ke perdebatan yang alot. Dan hampir sebagian besar dari mereka berdiskusi dengan menawarkan teorinya masing-masing (karena mereka berdebat dengan latar pendidikan yang berbeda-beda).
Budaya diskusi, berdebat, hal itu sangat mudah ditemui di lapo-lapo. Dan juga sangat mudah ditemui ketika dua-tiga orang Batak bertemu. Selalu ada hal untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Budaya tersebut tanpa disadari telah membentuk karakter. Jika menyebut orang batak kebanyakan akan dengan segera mengasosiasikannya dengan profesi-profesi tertentu semisal pengacara. Hal itu bukan tanpa alasan.
Selain budaya diskusi, catur dan bernyanyi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari lapo dan orang batak. Melalui kebiasaan bermain catur di lapo-lapo, orang batak terasah untuk berpikir. Selain menyalurkan hobi, catur juga menambah daya ingat. Dan tanpa disadari, kebiasaan-kebiasaan itu telah menjadi karakter yang melekat pada orang batak.
Apapun profesinya, meninggalkan lapo sepertinya hal yang sulit dilakukan orang Batak. Hal itu dibaca dengan jeli oleh pengusaha-pengusaha lapo. Lapo berkembang dari waktu ke waktu. Kini menemui lapo dengan berbagai tipe dan kelas sangat mudah. Di Jakarta misalnya, lapo-lapo tuak cukup beragam ditemui. Mulai dari yang sederhana, menengah sampai kelas elit.
Pada akhirnya, lapo dan orang Batak menjadi hal yang tak terpisahkan seperti agora dan orang Efesus pada zaman Yunani Kuno. Keduanya besar karena saling membesarkan.