Genealogi Batak Toba: Tugas yang Belum Selesai

tarombo

Identitas dan Kartu Identitas

Berbicara mengenai tarombo (genealogi) Batak Toba selalu berhubungan dengan pembicaraan tentang realitas konkret berupa identitas yang tertera di tanda pengenal (KTP, SIM, atau Akta Lahir), realitas hidup antara orang-orang yang bermarga Batak Toba serta relasi di antara kedua realitas itu.

Jika marga tertentu dicatat di belakang nama pada kartu-kartu identitas ini, inilah penanda pertama paling konkret, visual dan berterima, baik bagi orang Batak maupun non-Batak

Setiap marga Batak Toba berusaha untuk merumuskan gambaran mereka tentang sumber pertama Tarombo itu. Meskipun kehausan untuk menelusuri sumber-sumber dokumentasi genalogis itu bervariasi kedalamannya, keseriusannya, berikut metode yang digunakan oleh para pengaku dan pengguna marga itu.

Sengaja saya sempitkan pembahasan marga Batak Toba karena diantara subetnis-subetnis Batak, subetnis Batak Toba-lah yang tanpa ragu mengidentifikasikan diri pada sosok Si Raja Batak sebagai awal tonggak generasi mereka. Si Raja Batak sendiri kini umum diterima sebagai sosok historis yang hidup pada tahun 1260.

Subetnis lain yakni Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun dan Dairi memiliki kompleksitas pandangan tersendiri. Hal ini bisa terlihat dari cukup masif-nya wacana untuk mendefinisikan root masing-masing berangkat dari kesadaran dan kebanggaan yang ada tanpa harus mengaitkan keberadaan mereka dengan Si Raja Batak, kemudian menyebut diri sebagai bukan keturunan Si Raja Batak. Singkatnya: Bukan Batak.

Mulai dari wacana ngobrol warung kopi, halaman di internet, hingga publikasi atau jurnal ilmiah, subetnis lain berupaya untuk mencari dan menunjukkan bahwa mereka juga punya genealogi versi mereka sendiri, yang tidak mesti tunduk pada hegemoni Toba-sentris. Beberap link berikut mungkin bisa membantu:

Self-legacy: Cukupkah?

Ada beberapa faktor yang pantas diperhatikan, diamati dan direnungkan benar-tidaknya dalam fenomen keseharian setiap orang Batak Toba. Selain karena faktor diaspora vs “Tading di Bona Pasogit’, variasi kedalaman, keseriusan dan metode itu juga dipicu oleh self-legacy yang hampir ada di setiap dokumentasi tarombo atau genealogi Batak Toba yang ada. Dengan self-legacy dimaksudkan tarombo yang disusun berdasarkan tradisi oral
yang kerap tidak melalui cross-check, dipercaya begitu saja, lalu diturunkan ke generasi berikutnya tanpa menyertakan konteks zaman (sitz im leben) yang menyertai tradisi oral tersebut, kemudian di zaman modern ini didokumentasikan dengan angle yang mengajak pembaca untuk memperlakukannya sebagai bukti historis yang valid.

Umumnya orang-orang bermarga Batak Toba ini menunjukkan bukti dokumentasi dalam pustaka tertulis (misalnya buku  “Pustaha Batak: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” karangan WM. Hutagalung) dan tools lainnya untuk menelusuri tingkat genealogis mereka (meskipun banyak dibumbui kisah dan hikayat mitologis). Tools ini bisa berupa lagu yang kemudian dikarang, seperti Lagu Tarombo ni Parna, Si Raja Oloan,  Raja Marsundung Simanjuntak, Mars Hutagalung dan lain-lain. Bisa juga berupa carik-carik kertas berisi family tree yang dibagikan secara private di antara keturunan yang Sa-Ompu saja, tiga atau empat sundut saja. Tidak banyak yang berhasil menurunkan catatan selengkap gambar di bawah ini.

Sumber: IsranPanjaitan.com

Genealogi yang unik adalah pada beberapa marga yang sama-sama menyebut diri sebagai kerutunan Ompu Jelak Maribur, seorang sosok keturunan Si Raja Batak.

Beberapa sundut (tingkat genealogi tertentu dalam struktur family tree) membagikan cerita tentang Ompu Jelak Maribur,  yang diyakni memiliki kharisma dan kelebihan tertentu sehingga tonggak baru mesti ditulis lagi atas namanya. Maka, jadilah generasi baru menjadikan Ompu Jelak Maribur sebagai fondasi baru atau alasan keberadaan (raison d’etre) yang menyatukan beberapa pengguna KTP bermarga Munthe, Munte atau Haromunte yang masih menyebut diri sebagai Munthe sian Tamba, Munthe sian Dolok Sanggul, Munthe sian Labuhan Batu dan Dalimunthe.

Menariknya, bertentangan dengan trend Bukan Batak diatas, terlalu banyak interseksi dengan marga Dalimunthe dari Tapanuli Selatan (yang  merepresentasikan budaya Mandailing) sehingga muncul dua wacana genealogis besar yang masih belum selesai dan pantas ditelusuri lebih lanjut:

1. Ompu Jelak Maribur adalah anak dari Munte Tua, keturunan dari Si Raja Batak yang mempunyai keturunan di beberapa sub-etnis Batak, bukan hanya Toba (Munte, Munthe, Haromunthe), tetapi juga Mandailing-Tapsel (Dalimunthe, Naimunthe), Simalungun (Saragi-Munthe), Karo (Ginting Munthe) bahkan hingga ke luar subetnis Batak yakni Alas Gayo (Munte, Sikedang, Mandi).

2. Ompu Jelak Maribur adalah anak dari Munte Tua (Toba, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah), adalah orang yang sama dengan Jolak Maribu (Tapanuli Selatan), atau justru orang yang berbeda dengan sebutan yang mirip sehingga keturunannya di kemudian hari mencari root yang lebih awal lagi  dan meng-aku-kan diri sebagai sama-sama keturunan dari Munte Tua. Seiring dengan arus migrasi, maka kelompok-kelompok ini merasakan benang merah pertautan genealogis mereka: Keturunan Munte Tua dari Tamba, Keturunan Munte Tua dari Dolok Sanggul, Keturunan Munte Tua dari Tongging, Keturunan Munte Tua dari Labuhan Batu.

Bona Pasogit sebagai Shibbolet?

Sumber utama sebagai bukti sahih genealogis itu sebagian dirasa sudah bisa dibuktikan dengan adanya dokumentasi di buku-buku terbitan abad terakhir. Tetapi kemudian diperkuat lagi dengan visualisasi yang lebih jelas berupa tugu marga atau tambak dari Ompu dari Sundut tertentu dalam tataran genealogi mereka.

Kembali ke klan Ompu Jelak Maribur, misalnya, upaya pencarian kembali posisi masing-masing pada root Ompu Jelak Maribur telah menyatukan beberapa generasi kemudian yang ingin memperlihatkan kesatuan mereka kepada dunia luar dengan pesan yang jelas: “Lihat. Kami Pomparan Ompu Jelak Maribur ada. Inilah kami”

Tugu Ompu Jelak Maribur di Sibabiat, Kecamatan Tamba

 

Tanpa terjebak dalam kebanggaan semu atau kemenangan sesaat “Hey, kita sudah berhasil menemukan kembali Leluhur Pemersatu kita!!!”, tema besar genealogi Toba yang belum selesai ini masih relevan sehingga setiap anggota klan Ompu Jelak Maribur memang pantas secara jujur melihat dan menerima posisi mereka dan bersedia berbagi tools apapun yang mereka miliki untuk kebaikan sendiri maupun saudaranya dalam klan yang sama.

Tools sekecil apapun pasti akan berguna sebagai bahan riset atau setidaknya menjadi bukti bahwa semua anggota klan Ompu Jelak Maribur ini memang berasal dari sosok historis yang sama, seorang pribadi yang pernah tinggal di Bona Pasogit. Bona Pasogit itu bisa saja di Tamba, Labuhan Batu atau di Tapanuli Selatan (baru-baru ini di ketiga tempat yang disebut ternyata meninggalkan tugu dari nama yang sama yakni Ompu Jelak Maribur atau Jolak Maribu). Bisa berupa tuturan dari orang tua, carik kertas berisi catatan family tree lepas dari berapa sundut yang sempat dicatat, atau kesediaan untuk berjejaring dengan tidak lupa memanfaatkan kemajuan teknologi dan inovasi digital masa kini.

Tulisan lainnya...