Jokowi bukan Batak

Jokowi pada Festival Keraton Nusantara XI

Jokowi pada Festival Keraton Nusantara XI

Namanya Joko Widodo, kerap disapa sebagai Jokowi. Saat ini beliau adalah presiden Republik Indonesia, sehingga dipanggil Presiden Joko Widodo atau Presiden Jokowi. Ditambah gelar akademis dan status kehajiannya menurut Syariat Islam, maka nama lengkapnya menjadi Presiden Ir. H. Joko Widodo. Terlahir sebagai orang Jawa di Surakarta, Jawa Tengah, 21 Juni 1961, pria ini adalah ayah dari Kahiyang Ayu, yang baru saja menikah dengan Bobby Nasution.

Jokowi belum menjadi orang (Batak) Mandailing

Kendati Presiden Siregar Seluruh Dunia, Muhammad Yusuf Siregar, yang turut menghadiri prosesi adat pernikahan Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu dari pihak kahanggi (suhut) mengharapkan agar Jokowi juga resmi menyandang marga yang sama, hingga saat ini nomenklatur resmi beliau tetap sama: Presiden Ir. H. Joko Widodo, bukan (belum) menjadi Presiden Ir. H. Joko Widodo Siregar.

Keinginan dari komunitas Siregar Seluruh Dunia yang diwakili oleh Muhammad Yusuf Siregar tersebut terekam dalam publisitas yang masif akhir-akhir ini. Harian Detik, misalnya, menulis:

“Pak Jokowi otomatis jadi marga Siregar. Cuma belum sempat kita ulosi,” kata Yusuf menjelang masuk ke arena prosesi adat Bobby-Kahiyang, di Bukit Hijau Regency Taman Setia Budi (BHR Tasbi), Medan, Sumatera Utara, Jumat (24/11/2017). Sebagaimana diketahui, Kahiyang sudah mendapat boru Siregar pada 21 November kemarin. Sebenarnya Jokowi, kata Yusuf, juga langsung ikut bermarga Siregar. Namun Jokowi belum secara resmi bermarga Siregar karena belum menjalani prosesi pengulosan. “Kalau bisa kita selipkan, kira-kira kita bisa ulosi supaya resmi bermarga Siregar,” kata Yusuf. Prosesi pengulosan kepada Jokowi diharapkannya bisa dilakukan pada Sabtu (25/11) besok. Dia menunggu ketersediaan waktu supaya prosesi peresmian marga Siregar untuk Jokowi bisa disisipkan dalam rangkaian acara besok. “Besok pun bisa, barang 10 menit untuk mengulosi saja” kata Yusuf.

Wacana ini ditanggapi oleh Darmin Nasution, Menko Perekonomian yang menyebut bahwa usul agar Jokowi juga diberi marga itu benar adanya. Pernyataan tersebut disampaikan Darmin saat diwawancarai wartawan seusai acara adat di lokasi, Jalan STM/Sukatangkas, Medan, Sumatera Utara, Selasa (21/11/2017).

“Kita datang tadi acaranya kan meminta marga buat Kahiyang dan itu disetujui. Nah, ada dari marga lain yang mengusulkan supaya sekaligus diberi marga kepada Pak Jokowi,” kata Darmin.”Marga Siregar sudah menjawab, ‘Kita setuju saja, senang saja, tetapi masak dengan acara seperti ini memberi marga kepada Jokowi.’ Kita cari waktu yang lainlah,” sambung Darmin.

Kerumitan yang timbul jika Jokowi “di-Siregar-kan”

Marga adalah nama persekutuan dari orang-orang bersaudara, seketurunan menurut garis bapak, yang mempunyai tanah sebagai milik bersama di tanah asal atau tanah leluhur. Definisi ini berterima secara luas pada masyarakat Batak (Pakpak, Karo, Simalungun, Toba, Mandailing dan Angkola), terlepas dari masifnya gerakan bukan Batak (Mandailing bukan Batak, Pakpak bukan Batak, Karo bukan Batak, Simalungun bukan Batak). Secara hipotetis, jika Jokowi menjadi marga Siregar, maka eksklusifitas ini bisa bermuara pada kerumitan sosio-psikis, belum lagi secara sosio-politis. Dimana kesulitannya?

Dalam konteks budaya Jawa, kendati marga (fam atau klan) tidak dikenal,  kita tidak boleh melupakan bahwa umumnya pada masyarakat Jawa (setidaknya dalam tatanan aristokratis), ada trah atau “wangsa” (keluarga besar). Trah atau wangsa adalah pusaka yang harus dijaga oleh (khususnya) laki~laki Jawa. Jika, budaya patriarkal (garis ayah/laki~laki) Batak meneruskan pewarisan genealogisnya melalui marga, Jawa melakukannya dengan wangsa.

Trah/wangsa adalah sekelompok individu yang saling memiliki hubungan kekerabatan (silsilah) satu-sama lain. Terdapat suatu buku/catatan silsilah yang biasanya menjadi rujukan untuk menunjukkan hubungan kekerabatan itu. Hubungan kekerabatan ini kadang-kadang tidak hanya bersifat biologis tetapi juga sosial, dalam arti ada anggota yang diangkat (karena adanya perkawinan kedua atau adopsi, umpamanya) walaupun tidak terkait secara biologis, yang intinya dimaksudkan supaya mereka tidak saling melupakan satu sama lain (kepatèn obor). Dengan demikian, wangsa adalah kebanggaan, pusaka/amanat yang mesti dijaga baik-baik karena akan sangat mempengaruhi posisi sosial dalam masyarakat terkait pandangan mereka terhadap kapasitas laki-laki Jawa dalam menjaganya.

Mengambil marga bukan sebuah pelanggaran, namun bisa jadi akan membuat masyarakat adat Jawa berpikir bahwa Jokowi “melepas” pusakanya.

Lebih lanjut, wacana pe-marga-an Jokowi dilakukan sebagai sekuensi penuh emosionalitas pascapernikahan Bobby-Kahiyang, hal itu justru tidak perlu, akan sulit dan menjadi rumit. Untuk mendapat marga, seorang laki-laki harus diangkat sebagai anak atau sebagai saudara. Siapa yg akan mengangkat Jokowi jadi anak atau saudara? Yakin itu tidak akan berdampak secara politik?

Kesulitan berikutnya, keluarga Jokowi akan dipaksa untuk membongkar isi “dapurnya”, sesuatu yang sangat tabu dilakukan oleh keluarga Jawa, sama seperti masyarakat Batak yang tidak ingin “pataridahon ribak ni ulosna“. Karena jika Jokowi menjadi bermarga Siregar, maka Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, otomatis punya marga yang sama juga, yaitu Siregar.

Maka pemberian marga ini mesti dibedakan dengan konteks persaudaraan atau penghargaan atas dasar loyalitas dan solidaritas dari marga tertentu kepada seorang tokoh. Sama seperti Ahok yang konon diwacanakan akan diberi salah satu marga Batak Toba, atau Jokowi sendiri yang juga pernah diberitakan akan diberi salah satu marga Batak Karo. Dalam tatanan adat-istiadat, Ahok tidak otomatis masuk dalam sistem adat dan budaya Dalihan Natolu Batak Toba dan Jokowi tidak otomatis masuk dalam sistem dan adat budaya Sangkep Sitelu Karo. Hal yang sama juga berlaku pada sistem kekerabatan Mandailing yang memiliki 3 unsur kekerabatan yang inheren pada setiap orang Mandailing yakni dongan tubu/kahanggi (kerabat semarga), boru dan mora/hulahula (pihak pemberi isteri).

“Dongan tubu” Bobby Nasution adalah semua marga Nasution. Bobby sudah otomatis memilikinya sejak dia lahir. Itu makanya disebut “dongan tubu”: teman lahir.  “boru” adalah semua perempuan bermarga/boru Nasution, termasuk pria-pria yang mempersunting mereka. “hula-hula” adalah ipar dari Bobby, dan semua orang yang semarga dgn iparnya Bobby.

Di sinilah kemudian timbul “masalah”. Mengapa? Karena ketiga hubungan kekerabatan itu juga menjadi posisi Bobby dalam hajatan orang lain. Jika yang empunya hajatan itu bermarga Nasution, maka Bobby datang sebagai “dongan tubu”. Jika yang punya hajatan beristrikan boru Nasution, maka Bobby datang sebagai “mora”. Tapi jika Bobby tidak punya “mora”, maka dia tidak akan pernah hadir sebagai “boru”! Untuk menyiasati ini, Kahiyang kemudian diangkat sebagai putri dari seseorang bermarga Siregar. Dengan demikian, Kahiyang menjadi “boru” Siregar. Jadi, jika seorang marga Siregar meminta Bobby datang ke hajatannya, ia datang sebagai pihak “boru” Siregar.

Apakah Jokowi jadi marga Siregar? Tidak. Karena yang diangkat adalah Kahiyang Ayu, bukan Jokowi. Silsilah tidak berlaku ke atas dan status Jokowi sebagai mertua sedikitpun tidak menjadi berkurang. Bagaimana dengan Gibran dan Kaesang? Posisi saudara ipar kandung, dan umumnya lelaki Batak (entah Mandailing atau subetnis lainnya) sangat hormat pada iparnya.

Post scriptum

Dengan demikian, secara etnologis, Jokowi adalah seorang Jawa, baik sebelum maupun sesudah bermantukan Bobby Nasution, setidaknya hingga artikel ini ditulis.

 

Tulisan lainnya...