Raja Huta Tamba Lumban Tongatonga Mangulosi Oppu Jelak Maribur

munthe

Ulos dan Mangulosi

Mangulosi adalah suatu kegiatan adat yang sangat penting bagi orang Batak. Dalam setiap kegiatan seperti upacara pernikahan, kelahiran, dan dukacita ulos selalu menjadi bagian adat yang selalu diikutsertakan. Menurut pemikiran moyang orang Batak, salah satu unsur yang memberikan kehidupan bagi tubuh manusia adalah “kehangatan”. Mengingat orang-orang Batak dahulu memilih hidup di dataran tinggi yang bertemperatur dingin, sumber kehangatan apapun menjadi amat berharga.

Demikian juga dengan huta/kampung yang ada di daerah Tapanuli umumnya di kelilingi dengan pepohonan bambu. Bambu digunakan bukan hanya sebagai pagar untuk menjaga serangan musuh saja, namun juga menahan terjangan angin yang dapat membuat tubuh menggigil kedinginan.

Hal ini bersambung dengan 3 anasir penting yang diyakini moyang orang Batak memberi kehidupan bagi tubuh manusia, yaitu Darah, Nafas dan Kehangatan.

Sama seperti kebanyakan filosofi hidup yang sudah terekam dalam kearifan etnis lokal di berbagai belahan dunia, ada 3 sumber kehangatan yang di yakini moyang orang Batak yaitu matahari, api dan ulos. Untuk konteks hidup masyarakat saat itu:

Matahari terbit dan terbenam dengan sendirinya. Api dapat dinyalakan setiap saat, namun besarnya api harus di jaga setiap saat sehingga tidak jadi bahaya. Sementara, ulos bisa digunakan di mana saja dan kapan saja. Kita gunakan saja ulos.

Filosofi itu dibawa terus dan dihidupi sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dalam tatanan masyarakat. Berikutnya ulos memiliki tingkatan nilai tinggi di tengah-tengah masyarakat batak. Dibuatlah aturan penggunaan ulos yang di tuangkan dalam aturan adat, dengan tetap memegang prinsip ulos sebagai simbol pemberi hidup (life-giver). Ulos hanya di berikan kepada kerabat yang dibawah kita. Misalnya, natoras tu ianakhon (orang tua kepada anak). Selanjutnya ulos yang diberikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan diberi ulos. Misalnya Ragihotang gabe ulos hela (diberikan kepada menantu laki-laki).

Beragam penggunaan ulos pun lalu melahirkan beragam sebutan bagi kain tenunan itu. Penting diperhatikan bahwa tidak setiap jenis ulos bisa dikenakan seenaknya. Berikut beberapa sebutan untuk cara menggunakan ulos dan jenis ulos terkait.

  1. Siabithonon (dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung): Ragidup, Sibolang, Runjat, Jobit
  2. Sihadanghononhon (diletakan di bahu): Sirara, Sumbat, Bolean, Mangiring.
  3. Sitalitalihononhon (pengikat kepala): Tumtuman, Mangiring, Padang Ursa.

Ketika Raja Huta dan Natua-tua Tamba Lumban Tongatonga Mangulosi Oppu Jelak Maribur

Dengan pengertian ini, pantas dipahami dalamnya filosofi yang diberikan pada setiap pengenaan ulos. Di dalamnya terdapat intentio dantis (maksud pemberian), modus (cara), keadaan atau situasi ketika ulos dikenakan, berikut hasil yang diharapkan oleh si pemberi ulos kepada si penerima.

Meletakkan pengertian ini dalam setiap momen pengenaan ulos merupakan langkah penting untuk memahami apa arti yang diajarkan oleh para raja huta dan natua-tua di huta Tamba (baik dari sesama dongan tubu Tamba Lumban Tongatonga maupun natuatua yang diundang sebagai na ginokkon untuk turut menjadi penjaga maruah adat dan budaya yang berlaku untuk konteks Kebatakan) ketika mereka tak kuasa menahan haru demi menyaksikan adegan dramatis putri kesayangan mereka, Abitan Nauli boru Tamba Lumban Tongatonga tak mau dipisahkan dari Jelak Maribur. Dilema tentu hadir pada saat itu. Di satu sisi, mereka mesti mengindahkan Tona ni Nai Ambaton untuk tidak sekali-sekali menikahkan antar keturunan Raja Siambaton. Tetapi di sisi lain mereka juga tidak bisa menutupi hati yang penuh welas asih terhadap putri mereka sendiri yang rela menanggung derita dan hidup bersama Jelak Maribur, apapun hukuman yang mungkin dikenakan kepadanya.

Cukup unik bahwa pomparan Tamba Tua mengakui gelar yang dilekatkan pada Ompu Jelak Maribur, yakni Datu Parultop. “Datu parultop‘ sendiri berarti “ahli menggunakan ultop“. Jika menilik sejarah lisan yang umum diakui oleh pomparan Tuan Sorba Di Julu degan isterinya Nai Ambaton, ultop adalah senjata ikonik, yang menyimpan sejuta cerita dan luka.

Konteks cerita tarombo Batak yang dimaksud adalah sebagai berikut.


Leluhur dari pomparan Raja Siambaton adalah Raja Siambaton/Tuan Sorba Di Julu dengan kedua isterinya. Singkat ceita, putra-putrinya pun bertumbuh besar. Mereka adalah Simbolon Tua (dan Nahampun Tua), Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Boru Pinta Haomasan. Tamba Tua yang secara usia lebih sulung dari anak-anak Tuan Sorba Dijulu bersama Simbolon Tua mulai menunjukkan perebutan hak kesulungan. Simbolon Tua merasa, kendati dia lahir kemudian, dialah yang paling sulung karena terlahir dari isteri pertama. Konflik ini sampai juga ke pendengaran Tuan Sorba Di Julu. Ia kemudian mengadu kedua anaknya untuk berkelahi. Ketentuannya: Siapa yang berdarah atau terluka terlebih dahulu, dialah yang sianggian (adik); sebaliknya yang berhasil melukai atau menjadi pemenang dialah siakkangan (kakak sulung). Kepada keduanya diberikan senjata berupa ultop. Namun ultop yang diberikan kepada Tamba Tua berujung tumpul, sementara kepada Simbolon Tua diberikan yang berujung runcing dan tajam. Alhasil, Tamba Tua terluka dan berdarah, Simbolon Tua dinyatakan menang dan berhak atas hak anak siakkangan (hak kesulungan).

Sejak kejadian itu, Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua memutuskan pergi meninggalkan Dolok Paromasan menuju tempat baru di Kecamatan Sitiotio sekarang yakni Huta Tamba. Ketiganya berdiam disitu untuk sementara waktu bersama dengan anak-anak mereka masing-masing. Namun tidak lama kemudian pomparan (keturunan) Saragi Tua merantau ke daerah Simanindo. Lama-kelamaan pomparan Tamba Tua dan Munthe Tua juga terus berkembang mendesak mereka untuk mencari tempat tinggal yang baru di luar Huta Tamba. Pomparan Tamba Tua yang masih bertahan di Huta Tamba inilah yang terus menggunakan Marga Tamba hingga saat ini. Sementara itu, pomparan Tamba Tua yang merantau pada akhirnya menjadi marga mandiri. Adapun marga-marga mandiri keturunan Tamba Tua ini adalah Siallagan, Turnip, Si Opat Ama (Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok), Rumahorbo,  Napitu dan Sitio.

Pada kurun waktu yang relatif sama, pomparan Munthe Tua juga merantau, bahkan hingga menjangkau radius wilayah yang lebih jauh dari bona pasogit dibandingkan Tamba Tua. Mereka merantau hingga ke Humbang Hasundutan, Tanah Karo, Barus, Gunung Tua, Simalungun. Sebagian ada yang memutar arah ke balik bukit di daerah Pangururan dan sekiranya. Meskipun demikian, masih ada sebagian dari Pomparan Munthe Tua ini yang hingga saat ini tinggal dan menetap di Huta Tamba.

Salah seorang dari pomparan Munthe Tua yang sudah di perantauan bahkan ada juga yang kembali ke Huta Tamba, yaitu Ompu Jelak Maribur Datu Parultop. Karena tidak lagi mengenali saudara-saudaranya, ia pun menikahi salah satu dari puteri pomparan Tamba Tua, yaitu Abitan Nauli Boru Tamba Lumban Tongatonga. Dari pernikahan keduanya kelak muncullah keturunan yang bermarga Haromunthe. Perjalanan pomparan Ompu Jelak Maribur (OJM) Datu Parultop tidak berhenti sampai disini karena kemudian pomparannya juga tersebar luas di daerah Humbang Hasundutan, Tongging, dan Gunung Tua. Setidaknya ada tiga marga yang mengakui keturunan dari  OJM, yakni Munthe, Haromunthe dan Dalimunthe.

Banyak versi yang menuturkan konsekuensi berikut dari peristiwa itu. Tetapi yang jelas, mereka diulosi oleh para tetua adat saat itu. Diulosi berarti diberikan kehidupan dan kesempatan untuk melanjutkan kehidupan berikutnya.


“Ultop” menjadi senjata sekaligus petanda sahnya pemenang dalam perebutan hak kesulungan. Kendatipun versi dari kelicikan Tuan Sorba Di Julu ini diragukan oleh sementara orang, tetapi umumnya setuju bahwa senjata “ultop” dan orang yang ahli menggunakan “ultop” adalah orang yang berkenan bagi Tuan Sorba Di Julu.

Ompu Jelak Maribur yang memperkenalkan diri dan membuktikan diri sebagai orang yang ahli menggunakan ultop, dengan demikian diakui oleh pomparan Tamba Tua. Pomparan Tamba Tua sebagai raja huta menyebutnya Datu Parultop, setuju bahwa gelar itu disandang oleh Ompu Jelak Maribur, sebuah gelar yang tidak sembarangan. Hal ini bukan tanpa konsekuensi sebab ingatan pomparan Tamba Tua masih ingat betul akan kehebatan dan kedigdayaan dari ultop dan orang yang ahli menggunakan ultop merupakan simbol perkenanan Tuan Sorba Di Julu kepada siapapun di antara keturunannya, sehingga orang yang bersangkutan tidak akan kalah dalam peperangan atau konflik manapun. Salah satunya ialah ketika hak kesulungan Tamba Tua direbut oleh Simbolon Tua dalam pertikaian menggunakan senjata itu.

Tidak sedikit para penutur yang dengan sedikit spekulatif mengatakan, antara lain bahwa, karena pertimbangan inilah maka para ito dari Abitan Nauli Lumban Tongatonga mau bersikeras untuk melanggar peraturan kaku yakni ruhut bongbong (sisada lulu anak, sisada lulu boru) dan melindungi ito mereka serta memberikan restu kepada Ompu Jelak Maribur untuk menikahi ito mereka, kendatipun mereka tahu bahwa sama seperti Tamba Tua, Ompu Jelak Maribur yakni anak dari Munthe Tua, adalah sama-sama anak dari Raja Siambaton/Tuan Sorba Di Julu dengan Nai Ambaton. Sementara di tempat lain, terhadap Tuan Seul, seorang keturunan Tuan Sorba Di Julu yang konon juga melanggar ruhut bongbong, pomparan dari Raja Siambaton ini melaksanakan sangksi yang keras: Tuan Seul dan wanita yang ingin dinikahinya itu dibunuh.

Hingga saat ini, pomparan Ompu Jelak Maribur Datu Parultop Munthe Tua masih menyimpan ultop yang diyakini merupakan ultop peninggalan dari sang leluhur mereka. Ultop itu disimpan di Huta Sibabiat, tempat berdirinya tugu Ompu Jelak Maribur Datu Parultop Munthe Tua berdekatan dengan tugu pomparan Tamba Tua. Hanya laki-laki keturunan dari Ompu Jelak Maribur Datu Parultop yang diperkenankan untuk memegang ultop yang diyakini sakti itu.

Prekonklusi

Meskipun saat ini masyarakat Batak tidak lagi membutuhkan ulos sebagai penghangat tubuh di saat tidur ataupun saat beraktifitas, karena ada berbagai alat dan bahan yang lebih maju untuk memberi kehangatan bagi tubuh saat cuaca dingin, namun Ulos sudah menjadi perlambang kehangatan yang memberi hidup yang sudah mengakar di dalam budaya batak.

Catatan ini hendaknya terus menjadi reminder bagi generasi berikutnya, entah itu Generasi Batak X, Y, Z atau sebutan futuris lainnya. Penting untuk tetap memiliki cara pandang dan penghargaan yang selayaknya terhadap makna ulos sebagai penghangat pemberi hidup, apalagi hidup yang dilambangkannya.

Artikulasi terhadap reminder atau pengingat ini bisa beragam bentuk, sarana dan momentumnya tetapi hendaknya tetap dalam intensi yang sama: Ulos adalah kristalisasi dari filosofi Batak yang sangat menghargai hidup, mencoba menghangatkan apapun yang hidup, dan tidak akan berhenti menghangatkannya hingga tak berdaya oleh dinginnya ajal atau tragedi pertiwi.

 


Disadur dan disempurnakan dari berbagai sumber.

Tulisan lainnya...