Mengapa masih Batak

Boraspati

Batak vs Bukan Batak

Menarik mengamati prokontra (sebagian diskusi, sebagian debat kusir) yang akhir-akhir ini semakin masif di bloghosphere, yakni penegasan identitas Mandailing, Karo, Pakpak dan Simalungun sebagai Batak atau bukan Batak. Secara umum, pengusung “bukan Batak” berhasil menunjukkan bukti-bukti peninggalan Sejarah yang keempat (sub-)suku tadi yang relatif jauh lebih tua dibandingkan ikon Si Raja Batak, yang sarat mitologis. Sehingga jika penelurusan identitas Batak melulu berpatokan pada Si Raja Batak yang diperkirakan hidup kira-kira pada tahun 1300-an dilakukan secara literer tanpa penafsiran hermeneutis, penegasan “bukan Batak” tadi semakin mendapat affirmasinya.

Affirmasi yang dimaksud bermuara pada validasi akan kemandirian sejarah (jika bukan keberlainan sejarah) Mandailing, Karo, Simalungun dan Pakpak terhadap Batak Toba dan Batak Angkola. Butir-butir afirmasi itu antara lain:

  • Salam khas “Horas” dikonfrontasikan dengan “Mejuah-juah”, “Njuah-juah”
  • Bahasa Batak disempitkan menjadi identik dengan bahasa Toba (yang memang tidak jauh berbeda dengan Angkola), sehingga masuk akal bahwa Mandailing, Karo, Simalungun dan Pakpak memang mempunyai bahasa tersendiri yang berbeda dengan ‘bahasa Batak’
  • Marga-marga Mandailing, Karo, Simalungun dan Pakpak mampu menunjukkan akar yang sama sekali tidak ada kaitan dengan ikon genealogis versi Batak Toba dan Batak Angkola. Terutama marga-marga Mandailing, Karo, Simalungun dan Pakpak yang selama ini disebut bagian dari Parna (Parsadaan/Pomparan Nai Ambaton) merasa aneh bahwa marga mereka diklaim oleh sistem tarombo Parna, padahal mereka tidak mengakuinya.
  • Jejak kerajaan-kerajaan yang umumnya lebih tua yakni Aru, Pagarruyung, Nagur (yang diatribusikan sebagai identik dengan leluhur orang Mandailing, Karo, Simalungun dan Pakpak) dibandingkan dengan dinasti Sisingamangaraja, terutama Sisingamangaraja XII yang menyebut dirinya “Ahu, Raja Toba”

Bersama dengan argumentasi lain, butir-butir afirmasi ini menjadi peluru tembak keberlainan sejarah yang akan tetap mengisi wacana dikotomi “Batak vs bukan Batak” mulai dekade terakhir entah sampai kapan. Sebuah group diskusi berjudul “Pakpak Karo Simalungun Mandailing (Pakarsima) bukan Batak” bahkan mengartikulasikan penolakan identitas Batak sejak jauh sebelumnya:

  1. Mandailing menolak disebut Batak sejak tahun 1922
  2. Karo menolak disebut Batak sejak tahun 1952
  3. Simalungun menolak disebut Batak sejak tahun 1963
  4. Pakpak menolak disebut Batak sejak tahun 1964

Marga sebagai Anasir Utama Identitas Batak

Dengan mudah kita temui bahwa ditengah perdebatan dikotomis “Batak vs bukan Batak” ini, polaritas itu hadir di masing-masing subsuku Pakpak, Karo, Simalungun dan Mandailing. Artinya:

  1. Sebagian orang Pakpak menyebut diri Batak, sebagian lagi menyebut bukan Batak.
  2. Sebagian orang Karo menyebut diri Batak, sebagian lagi menyebut bukan Batak
  3. Sebagian orang Simalungun menyebut diri Batak, sebagian lagi menyebut bukan Batak
  4. Sebagian orang Mandailing menyebut diri Batak, sebagian lagi menyebut bukan Batak

Dan jika kita cermat mengamati kenyataan sehari-hari, anasir pengikat yang utama adalah marga. Ada pertalian emosionalitas yang saling ingat-mengikat dengan nomenklatur genealogis di antara sub-subsuku Batak ini. Jika diterjemahkan lebih lanjut, maka ini adalah indikasi bahwa:

  1. Ada sebagian marga A di subsuku Pakpak yang menyebut diri Batak, sebagian lagi menyebut bukan Batak.
  2. Ada sebagian marga B di subsuku Karo menyebut diri Batak, sebagian lagi menyebut bukan Batak
  3. Ada sebagian marga C di subsuku Simalungun menyebut diri Batak, sebagian lagi menyebut bukan Batak
  4. Ada sebagian marga D di subsuku Mandailing menyebut diri Batak, sebagian lagi menyebut bukan Batak

Cukup rumit.

Kerumitan ini menyentuh aspek paling dasariah dari praktek sosio-antropologis dalam hidup sehari-hari. Mengapa?

Karena seorang bermarga A tentu merdengan tubuh  dengan marga A lainnya; seorang bermarga B tentu ersembuyak  dengan marga B lainnya; seorang bermarga C tentu ersenina dengan marga C lainnya; dan seorang bermarga D tentu ersembuyak  dengan marga D lainnya. Semua ini bermuara pada harapan yang sama, yakni supaya para pemangku marga yang sama mempererat persaudaraan mereka. Mereka sungguh menganggap bahwa semarga adalah saudara, sebisa mungkin dalam arti satu darah, satu udara dan satu payudara. Ekspektasinya ialah, sebelum marga lain, dalam setiap peristiwa duka-cita yang dialami oleh insan-insan pemangku marga ini hendaknya saudara semarga-lah yang terlebih dahulu datang atau dimintai solidaritasnya.

Dalam budaya patriarkal yang selanjutnya berhubungan sosial secara dalam praksis harian, motif-motif ekonomi, politik atau sekedar memperluas tali kekerabatan, menjadi sekuens berikutnya. Alhasil, sekuens yang sudah berlangsung selama turun-temurun inilah yang justru menjadi pengikat yang lebih kuat. Jauh lebih kuat dari argumetasi keberlainan sejarah tadi. Mau tak mau, untuk mendapatkan validasinya, mereka membutuhkan payung pemersatu identitas yaitu “sama-sama Batak”.

Tulisan yang dipopulerkan Karo News misalnya menjadi contoh counter-opinion terhadap gerakan “bukan Batak” pada keempat subsuku di atas. Tulisan yang diberi judul “Batakku Sayang, Batakku Malang” tersebut selengkapnya berisi sebagai berikut.


BATAKKU SAYANG, BATAKKU MALANG

(Sebuah sarkasme untuk orang orang Batak jaman Milenium ketiga)

Dulu orang orang Batak bersatu padu berjuang melawan penjajah. Ada kontribusi suku batak dalam catatan sejarah bangsa Indonesia salah satunya dengan berdirinya Jong Batak. Lalu siapa pendiri Jong Batak?

❌ Bukan orang Afrika
❌ Bukan orang Burma
❌ Bukan pula orang Mongolia

✔ Yang mendirikan Jong Batak Batak adalah orang Mandailing. Itu tandanya apa?
✔ Tandanya kita Batak.

Kadang kita terlalu fokus kepada satu isu sehingga kita hanya pandai mengatakan bukan Batak tetapi kita tidak pernah pandai menjelaskan mengapa kita memakai marga.

Kadang kita terlalu frontal berbicara tapi kita lupa melihat sisi terkecil yang ada dalam sendi kehidupan kita. Kita selalu mengatakan semua ini “ulah Belanda” saja menuliskan sejarah Batak. Kita selalu menyalahkan dan mengkambinghitamkan Belanda, Belanda dan Belanda. Padahal kita lupa bahwa kearifan lokal leluhur kita sudah berjalan sebelum Belanda si mata biru menjajah Indonesia. Nenek moyang kita selalu berpesan mengenai persamaan marga diantara kita agar semakin kuat rasa persaudaraan sesama kita orang Batak.

Misalnya nenek moyang dari marga kami, selalu berpesan begini:

✔ Anak ku… kalau pergi kam merantau ke Tanah Karo, kam pakeklah margamu Sembiring karena itu saudara kita.

✔ Kalau ke Simalungun kam merantau, bilang saja marga kam Sipayung, saudara kita juga itu nakku.

✔ Kalau ke Mandailing kam pergi, bilang lah marga kam Daulay, itu juga saudara kita nakku.

✔ Kalau ke Pakpak kam meranto, kam bilang lah marga kam Kaloko, saudara kita semua itu.

Itu artinya apa ? Artinya kita sama. Kita suka terlalu sombong dan merasa paling pintar sehingga gampang saja kita mengatakan bukan Batak. Tidak perlu kita membaca blog blog dan situs situs di era android ini hanya untuk berpura pura menjadi pakar sebuah gerakan penghancur kesatuan.  Habis waktumu dengan segala gerakan-gerakanmu jika kita sama-sama memakai ornamen boraspati (kadal/cicak?) sebagai simbol bahwa Batak itu seperti boraspati yang bisa gesit beradaptasi dalam segala kesulitan medan hidup.

Lihatlah ornamen kita dan maknai artinya, maknai sedalam-dalamnya supaya kamu temui sebuah kesamaan. Bagaimana mungkin kita berbeda jika falsafah kita sama?

Falsafah orang batak adalah tungku dan orang batak mengambil filosofi tungku sebagai satu hal yang menjadi dasar kehidupan sebab sekaya apapun hidupmu tidak akan bisa berlanjut jika tidak ada tungku di rumahmu. Falsafah tungku inilah yang menjadi pedoman bahwa kita sama, sialnya, pura-pura kita lupakan.

1. Batak Toba
👉Dalihan Natolu
-SOMBA MARHULA HULA
-MANAT MARDONGAN TUBU
-ELEK MARBORU

2. Batak Karo
👉Rakut Sitelu
-NEMBAH MAN KALIMBUBU
-MEHAMAT MAN SEMBUYAK
-NAMI NAMI MAN ANAK BERU

3. Batak Mandailing/Angkola
👉Dalian Na Tolu
-HORMAT MARMORA
-MANAT MARKAHANGGI
-ELEK MARANAK BORU

4. Batak Simalungun
👉Tolu Sahundulan
-MARTONDONG NINGON HORMAT, SOMBAH
-MARSANINA NINGON PAKKEI, MANAT
-MARBORU NINGON ELEK, PAKEI

5. Batak Pakpak
👉Daliken Sitelu
-SEMBAH MERKULA KULA
-MANAT MERDENGAN TUBUH
-ELEK MARBERRU

Jika dengan falsafah itu engkau masih mengangkat tengkukmu setinggi mungkin untuk menyombongkan diri mengatakan engkau bukan batak, itu kembali lagi kepada diri mu sendiri. Percayalah satu hal bahwa nenek moyang kita tidak bodoh, nenek moyang kita dari ratusan tahun yang lalu akan berontak jika memang kita bukan batak. Kalian berpikir nenek moyang kita bodoh dan kalianlah yang pintar ? Ow ow ow …. coba renungi lagi kearifan lokal para leluhur kita.

Kita suka terlalu angkuh berpikir padahal kontribusi apapun tidak pernah kita buat untuk menjaga pesan pesan para leluhur kita dalam menjaga dan melestarikan Adat Batak.

✔Megatakan bukan Batak sama artinya dirimu ingin memisahkan tempe dari kedelai.
✔Megatakan bukan Batak sama artinya dirimu ingin memisahkan susu dari payudara.
✔Megatakan bukan Batak sama artinya dirimu ingin memisahkan katak dari air.

Batak, Bersatulah!


Tulisan bernada emosional tadi mewakili argumentasi lain yang melihat pentingnya menjaga kesatuan payung identitas sebagai sama-sama orang Batak.  Suatu pengorbanan yang teramat besar jika karena konflik dikotomis ini muncul konflik di satu marga yang sama.

Dari marga A di subsuku Pakpak, akan muncul marga non-A;

dari  marga B di subsuku Karo, akan muncul marga non-B;

dari marga C di subsuku Simalungun, akan muncul marga non-C;

dari marga D di subsuku Mandailing, akan muncul marga non-D. 

Pengorbanan sedemikian patut ditimbang secara cermat oleh pemangku marga yang bersangkutan.

Boraspati

 

Seandainyapun bukan Batak, kegelisahan tetap menanti

Sebagai identitas pemersatu, marga menjadi sedemikian melekat dengan orang-orang Batak (Pakpak, Karo, Simalungun, Mandailing, Toba dan Angkola). Dengan demikian tugas-tugas penting dari masing-masing subsuku ini ialah menjelajahi akar-akar genealogis marga-marga yang ada. Tugas itu antara lain menjernihkan pemahaman dan menyediakan penjelasan terutama bahwa tidak semua marga yang ada mempunyai hubungan dengan Si Raja Batak versi dominasi literer Batak Toba itu. Sayangnya, upaya itu juga belum final. Seandainyapun urut kacang genealogis berhasil ditelusuri hingga benar-benar lepas dari hegemoni Si Raja Batak, kegelisahan berikutnya sudah menanti di depan pintu. Kegelisahan yang diutarakan dengan cukup apik oleh Razakiko Harkani Lubis dalam tulisan curhatnya yang berjudul “Aku Mandailing atau Minangkabau?”

Tulisan ini tak akan mengkaji pertentangan pendapat yang menganggap Mandailing sebagai sub-etnis dari suku bangsa Batak, Sumatera Utara dan Mandailing sebagai suatu etnis sendiri yang terlepas dari Batak. Terserah anda menyebutku orang Batak, Mandailing, atau bahkan Batak Mandailing sekali pun.

Dalam darahku mengalir darah Mandailing dan Minangkabau. Setidaknya saya menerima yang doktrin oleh keluarga tersebut hingga memasuki bangku perkuliahanku di Antropologi Universitas Sumatera Utara. Selama ini aku hidup dan mengikuti kebudayaan Minangkabau. Bahasa Minangkabau jangan ditanya lagi, udah pasti fasih karna aku dihidupkan secara Minang. Tapi aku juga bersyukur pada Tuhan karena diberikan kemampuan untuk menguasai bahasa Mandailing. Belajar secara ototidak karena semenjak kecil selalu diajak pulang ke kampung ibu kami. Bahkan semenjak tinggal di Medan aku mulai bisa berbahasa Toba. Itu karena aku suka mendengar lagu Batak Toba dan hidup bersama mereka. Lagian bahasa Batak Toba tidaklah pala jauh berbeda dengan bahasa Mandailing. Masih satu rumpun. Tapi aku agak sedikit kesususahan untuk mempelajari bahasa Karo yang mendiami utara Sumatera Utara ini.

Hingga suatu hari Tuhan memberikan jawaban pertanyaan di atas. Entah kenapa aku tertarik untuk membuka buku lusuh itu. Yapz, itu buku raport ayah ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Awalnya aku hanya melihat lembar-lembar nilai dan catatan guru. Hingga akhirnya tertarik dengan pas photo ayah muda di halaman depan. Rambut ikal pria muda yang menjadi pesonanya. Dan apa yang menarik? Hassan Basri Lubis, begitulah nama ayah bapak yang tertera dalam lembar pertama tersebut. Ompung (oppung), Inyiak, Atuk, atau entah apa tutur kekerabatan yang pantas kuucapkan kepada beliau. Yang jelas aku tak pernah kenal siapa sosok kakekku tersebut. Tidak dikenalkan atau mungkin tak mau kenal itu kata yang lebih pas. Harusnya dari dulu aku mempertanyakan hal ini kepada ayah.

LUBIS orang bilang akronim dari LUAR BIASA, tapi jangan tutup mata ada juga yang bilang LUBANG BISUL hahahahahah. Terserah lah yang jelas aku bisa menarik suatu kesimpulan. Kakek kami bermarga Lubis, orang Mandailing yang kawin dengan nenek kami bersuku Jambak dari etnis Minangkabau. Mungkin karena kampung halaman kami terletak di daerah perbatasan antara Sumatera Barat dan Sumatera Utara, percampuran seperti ini kerap terjadi.

Berarti ayahku Lubis. Tapi kenapa ayah tak pernah bercerita kepada kami anak-anaknya? Darah Minang lebih mendominasi dalam diri ayah. Jangankan adat, sekedar berbahasa Mandailing saja ayah tidak bisa mengucapkannya meskipun mengerti. Haruskah kusalahkan ayah? Tak bisa kawan. Itulah pilihan hidup beliau dan kita harus menghargainya.

Dan tahukah kalian? Pasti gak tau karna aku belum kasih tau hehehehhehe. Ibu kami adalah seorang Mandailing tulen. Macamana tidak. Ompung dan nenek kami adalah orang Mandailing. Telusur punya telusur rupanya ompung dan nenek kami melakukan pernikahan semarga (baca: Lubis sama Lubis). So aku harus bilang wow gitu??? hehehehhe. Agak sedikit menyimpang memang dari adat yang berlaku bagi notabene etnis Batak. Nikah semarga itu sama dengan nikah dengan saudara sendiri atau orang antropologi bilang taboo. Entah lah yang jelas bukan keluarga kami saja yang melakukan hal tersebut. Bahkan aku punya beberapa friend di akun Facebook yang memiliki nasib serupa. Mereka bilang bahwa dalam hal ini masyarakat ingin mencoba lepas dari kukungan adat. Asalkan seagama yang mayoritas Islam, mereka pun melakukan perkawinan semarga. Perkawinan semarga disini tidaklah dengan saudara kandung. Meski sesama marga Lubis tapi mereka berasal dari kampung yang berlainan.

Ah ya mau diapain lagi semua sudah terjadi. Aku berjanji kelak tak akan mengulangi pernikahan semarga lagi seperti yang dilakukan leluhur dan kedua orang tuaku. Setidaknya aku mencari Boru Nasution yang menjadi jodoh ideal katanya, orang Mandailing bilang istilahnya boru tulang. Aku paham betul hal itu mungkin aku lebih paham dari ayah, ibu, keluarga, bahkan nenekku. Di sini aku belajar martarombo.

Tulisan lainnya...