Ketika Jelak Maribur Berdoa

tonggo

Adegan kesekian dalam drama hidup leluhur kami Ompu Jelak Maribur …


Entah harus bersyukur, galau, marah atau sedih, Jelak Maribur harus menerima kenyataan bahwa pertemuannya dengan boru Lumban Tongatonga telah menjadi awal bagi manusia baru lainnya. Iya. Seorang manusia keturunannya, menjadi manusia yang akan meneruskan namanya di dunia ini, bukan sebuah tambak yang terbuat dari batu. Monumen hidup yang tidak akan bisa dikekang dan dikendalikan semaunya, makhluk yang memiliki hak hidup sama seperti dirinya, bahkan leluhurnya. Meskipun, dari kasak-kusuk yang dia dengar, bukan berkat melainkan kutuklah yang akan menimpa anak itu kelak, sang ibu, dan pertama-tama hubungan mereka berdua.

Menurut warga kampung itu, apapun yang dilakukannya saat ini adalah sesuatu yang TIDAK BOLEH dilakukan. Tidak boleh berarti nyawanya berikut nyawa si wanita yang kini mengandung bayinya sedang terancam.

Sempat terlintas niat untuk pulang saja menemui saudara-saudaranya dalam kesusahan seperti ini.

Ada saudaranya si Jelak Karo. Tetapi sudah lama mereka tidak bersua dan tidak pernah lagi bercengkerama. Lagipula bisa memakan perjalanan beberapa hari untuk sampai ke tanah di bawah Gunung Sinabung itu.

Oh iya, mungkin saudara si Raja Sitempang bisa membantunya dalam kesulitan ini. Tapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Lagipula, toh mereka berdua masing-masing juga punya pekerjaan dan keluarga yang harus diperjuangkan. Alih-alih mendapat pengertian dari saudara-saudaranya, bisa-bisa mereka malah duluan memarahi, mencaci bahkan melaknatinya dengan kutukan-kutukan, sebagaimana beberapa kali dia sering saksikan dilakukan oleh masyarakat sekampungnya pada orang yang melanggar tradisi yang sudah bertahun-tahun mereka laksanakan.

Ada sekian banyak sungkan, segan dan alasan untuk tidak menemui menemui mereka terutama dalam situasi yang dia alami saat ini.

Dalam kesendiriannya, dia berusaha menenangkan diri. Sekelibat romansa yang sempat mewarnai pertemuan mereka berdua menyelinap juga. Meski singkat, momen itu kemudian menguatkannya untuk tegar dan siap menghadapi apapun resiko yang harus diterimanya. Dalam hitungan jam dia akan menghadap natua-tua ni huta. Sesuai suruhan dari utusan natua-tua ni huta, Jelak Maribur memang harus mempertanggungjawabkan hubungan mereka.

Maka pergilah Jelak Maribur menyepi sebentar. Diletakkannya ultop yang senantiasa menemaninya, yang membuatnya dikenal sebagai Datu Parultop.

Tempat terbaik bagi seorang lelaki Batak sepertinya yang sedang menghadapi situasi batas, situasi dimana transendensi dan imanensinya sebagai manusia Batak mencapai titik nadirnya, ialah kembali mendekat ke sosok yang berkuasa meski tak kelihatan itu. Belum ada gagasan tentang Mestakung, bahwa niat yang sungguh-sungguh mencintai kehidupan akan senantiasa kekal dan teguh dalam lingkaran Semesta Mendukung.

Dia juga belum pernah sempat mendengar pastur bule datang mengunjungi kampungnya lalu berkotbah tentang Providentia Divina atau Penebusan karena seorang manusia bernama Yeshua. Termasuk, dia juga belum tahu apa itu artinya Lindungan Allah Subhana Wa Ta’ Ala.

Dia hanya tahu, seperti ayahnya dulu ketika panen gagal dan wabah penyakit menimpa, si ayah selalu pergi pagi-pagi subuh menyepi dan mencari sebuah tempat di sudut kampung. Duduk bersemedi, menenangkan nafas, menyalakan rokok tembakau yang dia rajang sendiri dan memusatkan perhatiannya menghadap Hariara Sundung Ni Langit. Hening dan lalu komat-kamit mengungkapkan isi hati dan keluhannya, seakan-akan dia sedang berbicara dengan sosok lain.

Di kemudian hari dia semakin terbiasa mendengar bahwa nama dari sosok itulah yang disebut Mulajadi Na Bolon.

Kali ini Jelak Maribur pun akan melakukan hal yang sama.

Ia duduk. Matanya nanar memandang Hariara Sundung Ni Langit yang menjadi lambang paling sempurna dari kesatuan ketiga kosmos (banua na tolu). Sebagian menyebutnya Hariara Jambu Barus. Sebagian lagi menamainya Baringin Tumbur Jati atau Baringin Tumbur Tua.

Entah apapun namanya, tetapi teksturnya dipenuhi jamur dan kulitnya yang mengelupas dengan lobang menganga disana-sini serasa menghantarnya pada momen kosmis, yakni momen terbaik bagi setiap penyembah Mulajadi Nabolon. Dedaunan serta pucuknya berada di Banua Ginjang. Batang dan cabang-cabangnya di Banua Tonga. Akarnya menembus Banua Toru.

Hariara Sundung di Langit juga lengkap menjadi pusat kosmis dengan delapan cabang yang masing-masing mengarah ke delapan penjuru mata angin (Desa na Ualu) yaitu Timur (Purba/Habinsaran), Tenggara (Anggoni), Selatan (Dangsina), Barat Daya (Nariti), Barat (Pastima/ Hasundutan), Barat Laut (Manabia), Utara (Otara), Timur Laut (Irisanna).

“Genap sudah. Aku akan menyerahkan semua yang terjadi saat ini kepada genggaman Dia yang oleh masyarakat kami dipanggil Mulajadi Na Bolon”, Jelak Maribur membatin.

 

Bersimpuh, dia pun mengucapkan doanya dengan lantang. Batinnya seakan memendam kemarahan dan kecemasan yang meluap-luap. Ketika dalam kesusahan tak ada saudara yang mau membantu, keluarga menjauh, bahkan sebentar lagi kutuk dan hukuman akan menimpa dirinya dan wanita yang mengandung janin darinya, ia membutuhkan dukungan spiritual yang lebih dari dukungan manusia biasa.

Ia pun mulai menyeru ke Pemberi Kehidupan dan pencipta portibi, tempat kakinya menjejak dan lidahnya mencecap wewangian haminjon na ukkus itu.

 

“Ale Ompung Mulajadi Na Bolon. Mulani nasa na adong. Na Manjadihon langit dohot aek dohot tano dohot sude nasa isina. Na So Marmulamula, Na ro Si so marmula, Na so Marbona jala Na so binoto nang ujungna.

Dohot di hamu, Ompung Na Martua Debata na Tolu Suhu na Tolu harajaon, Na Manggonggomi langit dohot tano on dohot hami jolma manisia.

Dohot di sahala ni opung nami sijolo-jolo tubu na marsangap na martua, na manjujung hasattian sisattihon adat, patik, dohot uhum di hami pinomparna. Siparmeme, siparorot, sipanuturi raja na marsahala raja nahasaktian silehon parhorasan, silehon pasu-pasu.

Sai manatap manonggor ma hamu Oppung. Martinangi marbinege ma hamu di hatani tonggotonggokon.”


 

Kemudian dia melanjutkan keluh kesahnya dalam keheningan yang teramat sangat.

Sunyi sekali.

Seakan alam pun tidak mau mengganggu kekhusyukan dari anak muda ini. Manusia yang sedang menyelami keindahan sekaligus getirnya misteri illahi yang menyelimutinya.

Usai memanjatkan permohonannya, ia pun menghirup nafas dalam-dalam. Seakan dalam doanya ia benar-benar berbincang dengan Mulajadi Nabolon, ia merasa mendapat kekuatan dan keberanian untuk menghadapi apapun yang akan dihadapinya:

Natua-tua ni Huta akan mengadili hubungannya dengan boru Lumban Tongatonga!!!

Tulisan lainnya...