Meskipun terdapat berbagai perdebatan soal paham ketuhanan yang dianut oleh orang Batak, sebagian menyebut kepercayaan Batak itu campuran animisme, dinamisme, totemisme (bahkan sinkretisme jika menggunakan kacamata agama-agama samawi Kristen dan Islam), tetapi terdapat juga sejumlah indikasi bahwa leluhur Batak adalah penyembah Tuhan yang Maha Esa, yang dipersonifikasikan dalam sosok Mulajadi Nabolon. Sebagai pewaris dari kultur penyembahan kepada Mulajadi Nabolon, Parmalim adalah kelompok masyarakat yang masih memelihara ritual termasuk doa penyembahan kepada Mulajadi Na Bolon.
Seperti yang bisa kita temukan dalam tonggotonggo berikut ini:
Hutonggo hupio hupangalu alui ma hamu ompung, Debata Mula Jadi Nabolon, dohot hamu Ompung Debata Natolu, natolu suhu natolu harajaon, na manggomgomi langit dohot tano, dohot jolma manisia.
Mula ni dungdang mula ni sahala, Si Untunguntung Nabolon, Si Leangleang Mandi, Si Raja Indainda, Si Raja Indapati.
Napajungjung pinggan, di hos ni mataniari, Nahinsa-hinsa suruon, nagirgir mangalapi, nasintak sumunde-sunde, nauja manotari, siboto unung-unung, nauja manangi-nangi.
Napabukabuka pintu, napadungdang dungdang ari, napasorop-sorop ombun, di gorjok-gorjok ni ari, parambe-rambe nasumurung, sitapi manjalahi, napatorus-torus somba, tu ompunta Mulajadi.
Tuat ma hamu ompung, sian ginjang ni ginjangan, sian langit ni langitan, sian toding banua ginjang, sian langit na pitu tingka, sianombun na pitu lampis, sian bintang na marjombut, tu lape-lape bulu duri, sian mual situdu langit, tu gala-gala napul-pulan, hariara sangka mandeha, baringin tumbur jati, disi do partungkoan ni ompunta Mulajadi.
Dalam bentuk aslinya yakni Surat Batak, konon leluhur mengikuti doa ini dipimpin oleh seorang malim yang membacakan doa dari laklak dengan tulisan ini:
Meski masih dalam diskursus yang tetap berproses, cukup umum diterima bahwa sebelum masuknya agama Kristen Protestan kemudian Katolik ke Tanah Batak, kepercayaan monoteis sebagaimana dipelihara oleh kaum Parmalim ini menjadi kultur religius yang dipeluk oleh para leluhur Batak. Beberapa pendapat menuding kepercayaan ini sebagai sinkretisme yang mencampurkan ajaran Hindu dan Islam Nusantara.
Sebagaimana halnya definisi tentang siapa saja orang Batak belum final, maka ritual monoteisme sebagaimana didoakan dalam tonggotonggo ini juga perlu ditelusuri kembali seluas mana pengaruhnya terhadap dinamika peradaban orang Batak, khususnya Batak Toba. Dalam kaitan dengan genealogi Batak Toba yang menempatkan Sisingamangaraja sebagai salah satu ikon yang cukup mumpuni untuk mewakili kelompok masyarakat ini di antara ratusan etnis lain yang ada di Nusantara, leluhur dari ratusan marga orang Batak diyakini kerap mendoakan doa semacam ini. Hingga saat ini, kultus Parmalim masih mendoakan tonggotonggo ini dalam upacara keagamaan mereka, terutama bisa kita dengarkan pada ritual pemulihan kesuburan tanah, yakni Horja Bius.
