Pencarian akan identitas adalah perjalanan bukan hanya seumur hidup, bahkan sesudah mati. Lepas dari berbagai faham teologi dari agama-agama yang memvalidasi adanya “tempat” bernama Surga dan Neraka sebagai destinasi terakhir yang ditentukan oleh perbuatan selama hidup di Banua Tonga ini, adalah kekaguman tersendiri melihat bagaimana orang Batak Toba memperlakukan arwah leluhur. Konon penghormatan dari para ahli waris juga berpengaruh terhadap tingkatan tondi dari mereka di dunia arwah: Apakah hanya sekedar begu, sumangot atau sumbaon.
Tanpa malu-malu para pewaris menunjukkan visualitas apapun yang mereka bisa upayakan untuk menegaskan pesan ini:
“Wahai leluhurku, siapapun nama penciptamu, bagaimanapun mysterion yang menghantarmu menjadi akar hidup bagi kami, kami akan tetap menunjukkan bahwa engkaulah benih kehidupan yang hingga hari ini kami semaikan hingga kami pun turut dituai nanti”.
Tentu saja, visualitas menjadi norma berhasil-tidaknya penghormatan dari pewaris marga terhadap sang leluhur itu. Lewat tugu-tugu Parsadaan Marga atau Pomparan; untaian cerita lisan dalam setiap kesempatan horja dari orang tua kepada anak, boru dan bere di hadapan dongan sabutuha; atau hanya oret-oretan di kertas usang dari upaya inventarisasi banyaknya sundut dan goar di tarombo masing-masing parsadaan – semua ini adalah upaya untuk berpartisipasi dalam pengakuan yang satu itu:
“Ido, pinompar ni Ompu i do au”
Kendati demikian, ancestorship berikut genealogi sebagai ikutannya dalam konteks pewarisan keturunan dalam budaya Batak, bukannya tidak mengalami rintangan dan kritisisme yang hebat. Sebagian bahkan sudah mengarah ke penolakan. Penulis sendiri tidak serta-merta seratus persen setuju dengan pembangunan tugu dan kuburan bagi arwah leluhur yang terlalu mewah padahal dibangun dengan biaya yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk kepentingan yang lebih mendesak bagi mereka yang masih hidup.
Lain dari itu, pun tidak kurang yang masih ngotot dan berupaya menjustifikasi bahwa mereka bukanlah bagian dari ‘kumpulan’ yang lebih besar. Alasan bisa beragam, tetapi terutama karena dirasa bahwa mengakui diri sebagai bagian dari trah marga atau parsadaan tertentu lebih rendah nilainya atau malah bertentangan dengan nilai-nilai modern yang mereka sedang coba hidupi. Hal ini terjadi bukan saja dalam klaim-klaim masuk atau tidak dalam parsadaan marga tertentu, tetapi juga di antara sesama sub-etnis Batak sendiri.
Gerakan Karo bukan Batak adalah contoh yang dirasa penulis paling dekat dengan perjuangan ini. Bukan berarti mereka salah atau semata melakukan self-worth (seakan-akan sejajar dengan sub-etnis Toba dalam kumpulan etnis Batak dirasa merendahkan kualitas dari peradaban mereka), sebab saudara-saudara Karo juga sedang terus melakukan pencarian jati diri mereka. Tak perlu heran, bahkan kaum-nya Mark Zuckerberg sendiri masih terus menyeriusi agenda Zionisme mereka. Mencari akar paling asli dari leluhur paling sejati adalah hak semua warga.
Problematika
Menjadi semakin kompleks ketika persoalan “tarombo” atau urut kacang genealogis ini kemudian menjadi satu-satunya titik berangkat untuk menemukan persamaan akar kultural yang ada. Hanya karena Haromunthe dan Dabukke misalnya adalah marga yang “kontroversial” dalam kumpulan Parsadaan Nai Ambaton (bukan Pomparan Nai Ambaton) bukan berarti bahwa mereka sepenuhnya tak berhak mewarisi apapun yang dinikmati oleh keturunan Nai Ambaton lainnya. Hanya karena sebagian besar marga di Tapanuli Utara besar dan lahir dalam dinamika misi, bukan berarti bahwa berbeda dengan saudara-saudari Mandailing di Tapanuli Selatan yang sama mahirnya manortor dan menyanyikan Qasidah.
Parsadaan yang coba dihidupkan dalam berbagai perayaan dan perhelatan semisal pesta Bona Taon, Arisan, atau mendirikan usaha ekonomi secara bersama-sama adalah tanda kebanggaan, bahkan sekaligus kebanggan itu sendiri.
Mesti diwaspadai bahwa fenomena ini adalah ibarat pedang bermata-dua. Jika tak hati-hati, orang Batak bisa jatuh dalam dikotomi yang naif ini:
“Molo dohot do ho udur di punguan nasida, unang ro be ho tu ulaonta on”
Problematika yang terpetakan dengan jelas bisa menimbulkan potensi konflik sosial yang tersembunyi ini sejatinya bisa diatasi jika saja orang Batak melihat rekonsiliasi dalam konteks pemahaman yang lebih luas. Sebagai dua komponen penting dari SARA, Suku dan Agama adalah dua aspek yang tak bisa hilang dari pribadi-pribadi Batak. Keduanya bisa digunakan sebagai sentimen bermudarat yang semakin menjauhkan satu-sama lain, tetapi jika disikapi dalam terang ekumenisme, keduanya adalah kekayaan yang membuat kumpulan itu kuat dan tak dapat didikte oleh agen perusak manapun dari luar.
(Gambar: Pomparan ni Ompu Jelak Maribur Datu Parultop – Juni 2016, Tangerang)
Mengadopsi Ekumenisme ke Problematika Genealogi
Sejatinya statistik jutaan penduduk yang secara pukul rata disebut Batak itu tidak bisa di-cluster secara mudah. Misalnya, kendati sebagian orang Karo menyebut bahwa sistem kekerabatan mereka adalah Merga Silima, tak mengenal Parna, tetapi jika melihat langsung ke akar rumput dalam acara adat yang meriah dan penuh riuh rendah itu, amati saja bahwa tidak sedikit marga Ginting yang duduk dalam posisi Dongan Sabutuha dengan marga Saragih, Simbolon, Munthe, Tamba dan lain-lain. Entah ini hasil kompromi dari dinamika sosial masyarakat, tetapi jika ini adalah solusi yang membawa pada peradaban yang lebih rekonsiliatif, bukankah ini juga berkat yang dicari setiap orang Karo dari Kalimbubu-nya?
Analogi yang sama bisa kita terapkan untuk melawan sesat pikir segolongan besar orang Batak yang masih terpelihara di zaman ini bahwa misalnya, marga-marga yang mayoritas dari Tapanuli Selatan seperti Lubis atau Siregar pasti muslim; atau Simanjuntak dan Saragih pasti Kristen. Clustering semacam itu adalah contoh sesat pikir yang mesti diberantas. Kendati kerap dipakai sebagai instrumen untuk memperkuat Parsadaan (organisasi atau kelompok marga) tertentu, pola pikir semacam inilah justru sentimen yang lebih bermudarat daripada bermanfaat.
Sebuah lompatan besar pemahaman ketuhanan Batak sebagai logos spermatikos bagi Kekristenan seperti dalam uraian Mgr Anicetus Sinaga ini, rasanya pantas dibaca berkali-kali. Semoga dengan membacanya, orang Batak bisa memahami ambiguitas mereka:
Di satu sisi, mereka dengan gampangnya memperlakukan marga sebagai shibbolet yang adequate untuk mengidentifikasi bahwa si Polan itu bagian atau bukan bagian dari mereka.
Di sisi lain, mereka mampu berdamai (atau karena kurang mengkritisi) bahwa beberapa nilai kebatakan yang mereka warisi tidak serta merta sama dengan nilai religius yang sekarang mereka hidupi. Tanpa perjuangan yang serius, diskusi yang melelahkan, rekonsiliasi terhadap konflik nilai yang berkepanjangan, dan upaya lain untuk terus-menerus meng-update esensi dari nilai budaya: Konfrontasi nilai budaya Batak Vs nilai religius dari agama-agama yang dipeluk mayoritas orang Batak, yang di luar kepercayaan asli Batak – bukan hal mudah. (Mengingat Kristen dan Islam sekarang ini secara umum dipahami sebagai agama-agama yang sangat berbeda dengan kepercayaan lebih awal di orang Batak)
Untunglah, di setiap zaman selalu ada orang yang tak lelah mengkaji jejak-jejak spermatikoi yang kerap tersemaikan dan tumbuh secara silang dalam dialektika interkultural.
Berikut tonggotonggo yang menjadi penggalan dari Sambutan Mgr. Dr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap (Uskup Agung Medan) dalam Pesta Paskah Raya Ekumenis di Samosir tahun 2007 yang sangat bermuatan rekonsiliatif, inkulturatif. Semoga bisa jadi inspirasi bahwa “bersayap” di cakrawala luas pergaulan modern tidak harus “melupakan akar” budaya yang hormat dan tunduk pada nilai-nilai tradisional, tak pula mesti mempertentangkannya. (Penulis sangat antusias menunggu upaya serupa dari teman-teman Muslim, dari PBI – Persatuan Batak Islam, misalnya).
Hutonggo, hupio, hupangalualui ma Ho, ale Mulajadi Nabolon, na hinaporseaan ni Batak Sitompa langit dohot tano on, songon panghaporseaon Kristen di Debata Sitolusada, sitompa langit dohot tano.
Disi porsea do hami holan sada do Debata na tutu jala na adong, umbahen sada do Mulajadi Nabolon dohot Debata Sitolusada ni Kristen, nang pe dipanggoari dohot pangarajumion marlebanleban. Mauliate do rohanami siala pelean horbobius, dorbia horbo sitingko tanduk jala siopat pusoran. Na pinelehon di hau hangoluan Hariara Sundung Dilangit, jala na mandurushon mudarna gabe hatuaon tolu H (hagabeon, hamoraon dohot hasangapon) na pinarsinta ni hajolmaon.
Horbobius ma na gabe tudosan patumona singkoram ni hahomion ni pelean ni Tuhannami Jesus Kristus, na pinelehon di hau hangoluan silang, na mandurushon mudar manesa dosa, huhut mangomo hatuaon ngolu hadumaon tano on, alai lumobi ma hatuan surgo sisalelengna. Ai molo mudar ni dorbia horbo margogo manesa dosa dohot paampehon hatuaon, lam beha ma mudar ni Debate manang Anak ni Debata, ndang lam tu rimpasna di parbue hatuaon di hami jolma. Ai ndang dorbia ia Jesus Kristus, gari ndang holan jolma, tung Anak ni Debata na sumurung jalan pargogo na so hatudosan do.
Mariaia ma Ho ale Debata Mulajadi Nabolon, ai na pinatupa ni panogunoguon-Mu nunga sahat tu hagogok jala haririmpasna. Ai nunga disi landina disi landona, disi daina disi tabona, disi hinaulina disi ma hagogokna. Dilehon Jesus Kristus do muse pangapulon na so marsamari di hami jolma marhite haheheon-Na sian na mate.
Martua ma Ho ale Mulajadi Nabolon, jala jalo ma maulate ni rohanami siala pangaradeon na mansai bagas jalan marimpola. Alai hot ma haporseaonnami di Jesus Kristus, Anak ni Debata, na gabe sipalua hami sian nasa dosa dohot hamatean.
Ale Tuhan Mulajadi Nabolon, mauliate do rohanami tu Ho, ala nunga ditogutogu Ho bangso Batak tu pangantusion na hot di poda taringot tu pardongan saripeon.
Ala ni i ale Mulajadi Nabolon, jalo ma mauliate ni rohanami siala panogunoguon-Mu di impola ni poda pardongan-saripeon gabe dumolngos hami tu hakristenon. Ompu Raja Mulamula, Ompu Raja Mulana; na ro sian si so marmula, ndang binoto nang ujungna; Ibana do manumpan sude na di lbana; lbana do mamungka, lbana do sahatna; Ibana do nampuna sude na tinompana; Ibana pasupasuna, lbana do hosana.
Ale Namartua Pusuk Buhit, huboan hami do tuson parningotan ni pelean ni Jesus Kristus, i ma hamamatena di hau pinarsilang dohot hahehon-Na. Sai manatap-manonggor ma Ho, sian tatuan hasangapon-Mu di ginjang-ni-ginjangan, di langit ni langitan, di pelean parsahataan ni Debata dohot jolma.
Ai Debata Tuhannami Jesus Kristus alai hot na jolma Ibana. Ibanama peleannami na rimpas jala na singkop. Baliga nahinan, baligahonon saonari; Na pinarsinta nahinan, jangkonon saonari. Ai na martua do bangso Batak naung dapotan pangaradeon di barita parheheon di taon naimbaru, siganup Mangase Taon, gabe ditompa Ho mulak hasiangan on muba gabe na imbaru, asa sinurma pinahan, gabe na niula, imbur magodang angka na ummetmet, saur matua natuatua; mardangka ma ubanna, limutlimuton tanggurungna; tumpakon ni Tuhanta Debatanta Namartua. Ai parbue na so marlaok bota do hami; rintar songon bonang di gala; manghirim asi na sian Mulajadi. Gabe dipasintak ma panaili,dipaulak hosa loja; laos ditudu ma di hami Jesus Kristus Pangalompoi. Ai na hehe do Ibana sian musu hamatean; ditaluhon do luhutna musu ni ngolu siboan jea. Ndang marnangon be arsak dohot ribo, nang sahit dohotsitaonon, ai nunga digotap sorop ni hamatean, marhite haheheon-Na.
Marolopolop ma Ho, ale Namartua Pusuk Buhit, ai di parsorang ni ugamo na marharoroan sian Jesus Kristus, gabe sumurut ma sondang ni pangaradeon, ai nunga sorang na pinarbaga. Disi ma rimpas nang hagogokna, na gabe bonsir ni olopolop di hami parbiar tu angka begu. ‘Ai nunga talu hamatean dibahen Tuhan Jesus i.
Ala ni i, rap dohot Ompu Sijolojolo Tubu, nang tu Mulajadi Nabolon, sisada hata ma hita, si sada panggoari: Mauliate ma Tuhan di pangaradeonMu di pangulahon ni ompunami Batak. Mauliate ma siala hapolinon dohot habadiaon ni pelean, pala rimpas di tudu-tudu na dompak tu Jesus Kristus.