Siapa saja orang Batak?
Suku Batak merupakan salah satu suku dengan populasi yang cukup besar dalam statistik penduduk Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, khususnya daerah di sekitar Danau Toba. Pada masa lalu, wilayah ini disebut sebagai Tanah Batak (kendati lebih populer dengan istilah Toba-nya, yakni Tano Batak), yang berarti daerah yang mengelilingi Danau Toba. Konon, Tano Batak itu meluas hingga sampai ke wilayah Aceh Selatan dan Aceh Tenggara, antara lain menurut sebagian kalangan yang mengkategorikan orang Nias dan orang Aceh Gayo sebagai orang Batak. Tano Batak menjadi lebih kecil setelah pemerintah Belanda dengan sengaja memecah belah wilayah tersebut demi strategi penjajahan mereka (Vergouwen, 1986).
Dalam perspektif antropologis yang lebih luas, kepada orang Batak pernah dialamatkan definisi dari sejarawan Yunani Kuno Herodotus untuk suku barbar-kanibal, yakni “those who eat human flesh”, atau siallang jolma. Dalam kurun waktu yang cukup lama (dan kemungkinan besar hingga sekarang masih ditemukan disana-sini) pengertian inilah yang digunakan oleh penjajah dari bangsa-bangsa Eropa untuk penduduk yang menghuni wilayah Sumatera Timur dan sekitarnya itu. Literatur pun diperbanyak dengan mengikuti pengertian itu sehingga bahkan dalam kamus Bahasa Indonesia — yang sebagian besar diserap dari bahasa Melayu: kata batak diartikan sebagai 1) petualang; pengembara; membatak: 1) bertualang, melanglang, mengembara; 2) merampok; menyamun; pembatak: perampok, penyamun.
Hal ini bisa dipahami mengingat dalam konteks keterbukaan terhadap dunia luar dan akses perdagangan, suku Melayu yang diwakili oleh kesultanan Deli (yang sudah mengalami pertemuan dengan bangsa Eropa pada abad keenam belas) memandang penduduk suku pedalaman sebagai suku-suku pengembara dan petualang, pribumi Sumatra di luar suku Melayu. Padahal, dalam terminologi Batak Toba sendiri, “mambatak” atau “mamparbatak” berarti menunggang (kuda, kerbau). Bagi orang Batak Toba, orang Batak berarti keturunan Si Raja Batak (Si Radja Batak atau Sorimangaraja Batak) dari Pusuk Buhit, yang artinya si penunggang kuda, berkaitan dengan citra keperkasaan dan kegigihan. Tak heran, misalnya, lukisan Sisingamangaraja XII oleh Agustin Sibarani dibuat menunggang kuda sehingga kelihatan lebih menekankan keperkasaan seorang tokoh pejuang. Hingga saat ini pun, di daerah Dolok Sanggul dan pesisir Danau Toba masih banyak penduduk yang menggunakan jasa kuda meskipun hanya sebatas pengangkutan barang.
Sejatinya bukan Vergouwen yang pertama kali mengupas tentang asal-muasal Batak ini. Sudah sejak lama asal kata atau pengertian dari sebutan (kata) Batak (nama salah satu etnis di Indonesia) diteliti dan diperbincangkan banyak orang. Namun dokumentasi yang bisa penulis lacak masih berasal dari abad 20 saja, belum ada dari zaman sebelum abad ke-20. Di surat kabar Pewarta Deli No. 82 tahun 1919 misalnya, polemik yang paling terkenal adalah polemik antara penulis yang menggunakan nama samaran “Batak na so Tarporso” dengan J. Simanjutak. Keduanya saling mempertahankan pendirian dengan argumentasi masing-masing, sehingga menyebabkan polemik sempat berkepanjangan. Demikian pula di surat kabar keliling mingguan yang diterbitkan HKBP pada edisi tahun 1919 dan 1920, perbincangan mengenai pengertian Batak juga cukup ramai dimunculkan.
Seorang penulis yang memakai inisial “JS”, dalam tulisan pendeknya di suratkabar Imanuel edisi 17 Agustus 1919, menyatakan diri tampil sebagai penengah di antara silang pendapat tersebut. JS dalam tulisannya telah mengutip buku karangan Dja Endar Moeda (alm.), yang diterbitkan tahun 1903, yang berjudul “Riwayat Poelaoe Soematra”, dan pada halaman 64 isinya adalah sebagai berikut :
“Adapoen bangsa yang mendoedoeki residentie Tapanoeli itoe, ialah bangsa Batak namanya. Adapoen kata “Batak” itoe pengertiannya : orang pandai berkuda. Masih ada kata Batak yang terpakai, jaitoe “mamatak”, yang artinya menaiki koeda. Kemoedian hari orang perboeatlah kata itoe djadi kata pemaki kepada bangsa itoe…”.
Keterangan serupa juga dikemukakan Dr. J. Warneck (Ephorus HKBP) dalam bukunya yang berjudul “Tobabataksch-Deutsche Woterbuch”, halaman 26.
Masih menurut JS, Tuan L.Th. Meyer juga telah menulis dalam bukunya yang berjudul “Maleisch Hollandsch Wordenboek“, di halaman 37 menyebut ““Batak, Naam van een volksstamin in Sumatra…” (Batak adalah nama satu Bangsa di pulau Sumatra). Keterangan itu dituturkan JS dalam tulisan pendeknya, sebagai maksud untuk meluruskan anggapan yang ada, bahwa seolah-olah kata Batak memiliki pengertian yaitu suatu aliran/kepercayaan tentang agama tertentu, yang dikembangkan oleh pihak tertentu untuk mendiskreditkan citra orang Batak.
Senada dengan terminologi dalam bahasa Batak Toba di atas, kata Batak meyiratkan banyak definisi tentang keberanian atau keperkasaan. Ambrosius Hutabarat, dalam sebuah tulisannya di surat kabar Bintang Batak tahun 1938, menyebut bahwa pengertian Batak adalah orang yang mahir menaiki kuda. Mengingat bahwa kuda merupakan lambang dari kejantanan, keberanian di medan perang, dan kegagahan dalam menghadapi bahaya/rintangan, dalam perkembangannya definisi ini memperkuat pendapat bahwa suku Batak dikenal sebagai suku yang memiliki jiwa keras, berani, dan perkasa.
Selanjutnya, Drs DJ Gultom alias Raja Marpodang (Buku Dalihan Natolu, Nilai Budaya Suku Batak, hal 32 cetakan 1992)mengajukan teori yang senada dengan mengatakan bahwa suku Batak adalah Si-Batak Hoda, yang artinya suku pemacu kuda. Berdasarkan teori ini, asal usul suku Batak adalah pendatang dari Hindia Belanda sekitar Asia Tenggara, yang sekarang memasuki pulau Sumatera pada masa perpindahan bangsa-bangsa di Asia. Sebagaimana peneliti lainnya, Drs DJ Gultom telah melakukan serangkaian penyelidikan intensif seputar arti kata Batak dengan membaca sejarah, legenda, mitologi, serta wawancara dengan orang-orang tua, budayawan dan tokoh adat.
Cuplikan Filologis
Kendatipun subetnis Toba-lah yang tanpa ragu mengaku diri sebagai orang Batak, bukan berarti bahwa kata “batak” hanya khazanah filologi dan budaya Toba saja, melainkan juga ternyata terdapat di puak lainnya. Ungkapan dari subetnis Pakpak Dairi, misalnya, berbunyi : “Me mas Bataken mahan gemgemen laho mahan tabungen, biat ni kata mahan sungkunen mendahi kalak sipantas sing dang radumen“ (Emas batak dijadikan warisan (homitan) yang dibuat menjadi tapak sirih, sudah sepantasnya tempat untuk bertanya itu adalah orang yang mengetahui.) Emas Batak disini diartikan sebagai serbuk emas dulangan yang telah menjadi emas murni atau logam mulia. Dengan demikian pengertian batak pada masyarakat Dairi adalah asli, sejati, murni, atau mulia. Sebutan kata Batak pada masyarakat Dairi konon sangat bermakna, tak bisa sembarangan disebut, sehingga kata batak itu seperti disucikan.
Selanjutnya temuan perkataan “batak” pada Batak Karo berbunyi: “Mbatak-mbatakken jenujung si Tongat kari berngi“ (nanti malam akan diadakan upacara mbatak-mbatakken jenujung si Anu)”. Masyarakat Karo berpandangan bahwa manusia ada jenujung-nya (junjungan) yang selalu mendampingi. Jenujung adalah roh yang mengikuti seseorang, dan sering membantu seseorang itu disaat dia terancam bahaya. Apabila jenujung tidak lagi mengikuti seseorang tersebut, maka orang itu akan mendapatkan bahaya atau sakit-sakitan. Usaha agar jenujung kembali mengikuti, yaitu harus melaksanakan upacara spiritual, yakni ritual orang Karo mbatak-mbataken tadi.
Ungkapan Karo lainnya berbunyi “Ibatakkenmin adah nda” (bentuklah tempat itu). Konteks ucapan ini adalah saat seseorang hendak mendirikan rumah. Langkah pertama adalah mendahului suatu kegiatan ritual sebelum perataan tanah, supaya rumah yang dibangun menjadi tempat yang sehat sejahtera bagi penghuninya. Selain itu, juga bermaksud untuk menguatkan pondasi agar rumah yang dibangun kokoh. Jadi pengertian ibatakken atau batak pada masyarakat Karo adalah usaha yang suci agar sehat dan kuat.
Sementara itu, ungkapan Batak Simalungun, berbunyi ”Patinggi ma bato(a)hon in, ase dear sabahta on“ (tinggikanlah batohan agar bagus sawah kita ini). Sawah yang terletak di pinggir sungai atau di lereng gunung sering rusak karena banjir. Untuk mencegahnya, maka di pinggir sawah dibuat benteng yang kuat sebagai penahan serangan banjir. Batahon (bedeng tebal dan tinggi di sawah) disini juga merujuk pada definisi yang serupa, yakni tumpuan kekuatan untuk menahan bahaya serangan. Apakah ada pula hubungan kata Batak dengan “batu bata” atau batako (batu yang dibuat persegi empat dengan memakai semen) yang digunakan untuk sebuah bangunan? Belum diketahui persis. Tapi arti kata “batu bata” dari “batako” juga digambarkan bermakna kuat, kokoh, tahan lama, sehingga juga dapat mendekati pengertian Batohan pada bahasa Simalungun.
Di Filipina ada satu pulau yang bernama Batac (huruf “c” dibelakang). Di pulau itulah terdapat banyak masyarakat yang memiliki persamaan budaya dan bahasa dengan orang Batak Toba di Sumatera Utara. Konon pengertian kata “batac” di sana juga mencerminkan makna sesuatu yang kokoh, kuat, tegar, berani, perkasa. Sejumlah perkataan dengan cara penyebutan dan artinya sama ternyata ditemukan dengan cara yang dapat saling menggantikan di antara suku Batac Filipina dengan Batak (Toba) di Sumatera Utara, Indonesia. Misalnya kata “mangan” (makan), “inong” (inang), “ulu” (kepala), “sangsang” (daging babi cincang yang dimasak sekaligus dengan darahnya).
Batak di Nusantara
Istilah Batak dikenal luas di Eropa setelah tulisan William Marsden pada tahun 1784, dan ketika misionaris Kristen masuk, kemudian Belanda mulai mendominasi wilayah Sumatra bagian Utara. Istilah Batak dipopulerkan oleh Belanda dan Jerman dalam tulisan-tulisan mereka untuk suku-suku Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Mandailing dan Angkola sebagai suku pribumi di Sumatra bagian Utara, karena selain kedekatan wilayah, terdapat latar belakang kemiripan adat, budaya, bahasa dan aksara yang membedakan mereka dengan suku Melayu dan Aceh yang tinggal berbatasan di sekitar mereka. Sebelum dan pada saat Sumpah Pemuda 1928, perwakilan para pemuda dari Sumatera bagian Utara, menamakan diri “Jong Batak (Jong Batak Bonds),” salah satu tokohnya Amir Sjarifoeddin Harahap dan Sanusi Pane. Bahkan, semula Angkola dan Mandailing menamakan diri sebagai suku atau orang “Tapanuli” untuk menghindari istilah “Batak yang berkonotasi negatif oleh orang Melayu”.
Suku Batak memiliki beberapa sub-suku yang masih memiliki ikatan kuat antara satu dengan lainnya. Ada beberapa pendapat tentang jumlah sub-sub suku ini. Ada yang menyebut bahwa ada lima sub, yaitu sub suku Toba (salah satunya adalah penulis, bermarga Haromunthe), Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak. Dalam studi paleografisnya, seorang peneliti aksara suku-suku Asia Tenggara Uli Kozok, menyatukan kelima sub-suku ini sebagai kelompok yang memiliki aksara yang sama, yang disebut aksara Batak. Aksara Batak dijelaskannya sebagai bukan silabogram, melainkan merupakan bagian dari rumpun tulisan Brahmi (India) yang lebih tepat dapat diklasifikasikan sebagai abugida (paduan antara silabogram dan abjad). Sebuah abugida terdiri dari aksara yang melambangkan sebuah konsonan sementara vokal dipasang pada aksara sebagai diakritik. Abugida adalah jenis tulisan yang bersifat fonetis dalam arti bahwa setiap bunyi bahasanya dapat dilambangkan secara akurat.
Namun, ada juga yang menyebut sebelas, yaitu kelima sub tersebut ditambah dengan Pasisir, Angkola, Padang Lawas, Melayu, Nias, dan Alas Gayo (Malau, 2000). Belakangan, pendapat ini semakin ditinggalkan karena perkembangan studi yang ada menunjukkan lebih banyak perbedaan budaya dari keenam suku terakhir dibandigkan dengan lima sub-suku yang disebutkan di atas.
Berdasarkan diskursus singkat di atas, kategorisasi tentang siapa sajakah yang termasuk orang Batak belum menemui titik finalnya. Selain karena permasalahan identitas (bukan hanya identitas suku saja) memang kompleks, tetapi pada ranah praksis pun kerap ditemui bahwa penduduk dengan marga tertentu yang dianggap sebagai orang Batak, ternyata tidak mengakui diri sebagai orang Batak. Secara umum, dari beberapa sub-suku di atas yang secara univokal dan tanpa ragu mengakui dan meng-aku-kan diri sebagai orang Batak adalah mereka yang berasal dari sub-suku Batak Toba. Seperti komentar-komentar pada diskursus yang coba ditawarkan oleh Haposan Bakara di situs online-nya ini. Dari komentar-komentar di bawah ini, terlihat ada dua pendapat, yakni:
- Orang Batak orang Batak Toba saja (judul berwarna Merah)
- Orang Batak bukan hanya Batak Toba, tetapi juga Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Angkola (judul berwarna Biru)
Orang Toba adalah Kaum Pendatang
Suku bangsa Pakpak, Karo dan Simalungun dari historisnya, tidak berasal dari Suku Batak Toba, dan bukan keturunan Si Raja Batak yang bermukim di Pusuk Buhit sekitar tahun 1200-an. Tetapi dari keturunan Si Raja Batak (kelompok marga-marga Batak Toba) itu ada sebagai kaum pendatang kemudian diterima dan membaur menjadi anggota suku bangsa Pakpak, Karo dan Simalungun. Kelompok Suku Batak Toba yang membaur ini ada yang merubah/menyesuaikan, mengadaptasi atau tetap mempertahankan marganya (inilah yang menjadi persamaan dan kemiripan dari marga-marga). Kini mereka telah kembali kepada identitas sejatinya sebagai suku bangsa Simalungun, Karo, dan Pakpak tanpa menyandang nama atau sebutan “Batak.
— Haposan Bakkara, 26 November 2014
Variasi Genetik yang Tinggi
Penelitian tentang variasi genetik menggunakan tiga lokus mikrosatelit DNA D2S1338, D13S317 dan D16S539 dilakukan untuk memperoleh ragam alel pada 76 sampel suku Batak yang tidak berhubungan keluarga yang tinggal di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Sampel DNA diektraksi dari darah menggunakan metode fenol-khloroform dan presipitasi etanol. Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode PCR (SuperMix, Invitrogen). Ditemukan sebanyak 14 alel pada lokus D2S1338, 10 alel pada lokus D13S317 dan 8 alel pada lokus D16S539. Ketiga lokus menunjukkan keragaman genetik yang tinggi baik pada masing-masing lokus maupun pada pada masing-masing sub-suku Batak dengan keragaman genetik sebesar 0,8637 pada sub-suku Batak Toba, 0,7314 pada sub-suku Batak Karo dan 0,7692 pada sub-suku Batak Simalungun.
— Amani Atma, 28 Agustus 2014, 15.28, mengutip
VARIASI GENETIK SUKU BATAK YANG TINGGAL DI KOTA DENPASAR DAN KABUPATEN BADUNG BERDASARKAN TIGA LOKUS MIKROSATELIT DNA AUTOSOM
Tak Mau Disebut Batak berarti Separatis
Tidak ada penelitian yang jelas, ilmiah, pasti, bahwa nenek moyang Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing, berbeda dengan orang Toba. Hanya karena ada kota Nagore di India, maka segelintir orang simalungun menyamakannya dengan kerajaan Nagur di simalungun jaman dulu. Demikian halnya dengan puak lain, beralasan yang mirip dan berkiblat ke India. America sudah sampai ke Mars, kita ini masih mempersoalkan asal-usul. Kasian.
Segelintir orang, sekali lagi “segelintir orang” tidak mau dibilang Batak. Ada gerakan-gerakan separatisme online; Karo bukan Batak, ada Simalungun bukan Batak, ada Pakpak bukan Batak. Jiwa-jiwa separatis, durhaka terhadap nenek moyang, ibu pertiwi dan sejarah itu sendiri. Apakah mereka bisa memperkenalkan budayanya tanpa ada kata batak di depan nama puaknya? Atau mereka langsung bisa menjadi pemimpin negara setelah lepas dari Batak? Kita lihat saja nanti. Bahwa barang siapa yg berani memakai kata Batak itu, dialah pemenang !!!
— Budiman Panjaitan, 18 September 2014, 10.04
Batak adalah Sebutan Kolektif Semata
Istilah “Batak” tidak lahir dari internal suku Karo, Pakpak dan Simalungun, tetapi sebagai sebutan kolektif yang ditujukan kepada kelompok suku Batak Toba, Angola-Mandailing, Karo, Pakpak dan Simalungun berasal dari pihak luar oleh sarjana, peneliti, petualang Eropa karena adanya persamaan dan kemiripan di dalam adat, bahasa dan budaya di antara suku-suku tersebut yang membedakannya dengan Suku Melayu dan Aceh yang berbatasan wilayah dengan mereka. Suku Karo adalah Suku Karo, Suku Pakpak adalah Pakpak, Suku Simalungun adalah Suku Simalungun tanpa “Batak” karena dari silsilah, penelusuran sejarah, perkiraan tahun, bahwa mereka tidak berasal atau bukan dari keturunan Si Raja Batak yang bermukim di Pusuk Buhit sejak 1200-an Masehi.
Jika terdapat persamaan atau kemiripan marga dengan Suku Batak Toba, adalah pada proses migrasi, beberapa dari keturunan Si Raja Batak membaur dengan suku Simalungun, Karo dan Pakpak, dengan mengganti, mengadaptasi atau tetap mempertahankan marganya. Marga pada suku Batak Toba, Simalungun, Pakpak dan Karo tidak hanya mengidentifikasi sebagai garis keturunan “ikatan geneologis” tetapi pada mulanya bisa juga berasal dari nama kesatuan kelompok, atau proses mengangkat warga keturunan kelompok lain sebagai warga sukunya (marga=merga berasal dari kata “varga” atau warga).
Dari ciri-ciri fisik, adat istiadat dan budayanya bahkan belakangan test DNA atas beberapa sampel, tidak dapat dipungkiri bahwa Suku Karo, Pakpak, Simalungun dan Batak Toba pada satu masa di era pra-sejarah di suatu wilayah tertentu, mereka berasal dari leluhur yang sama tetapi tidak menyandang nama “Batak ” sehingga lebih tepat dikatakan dengan meminjam istilah “Serumpun” atau “Leaves of the Same Tree.” Sebagai catatan, suku-suku pribumi yang ada di Sumatra dan di Nusantara Indonesia masih serumpun. Suku-suku di Nusantara juga serumpun dengan suku Melayu yang ada di Negara Malaysia.
— Haposan Bakkara, 26 November 2014, 19.11
Toba memang bukan Induk dari Marga-marga
Memang terlalu sempit bila dikaitkan semua suku-suku di Sumut berasal dari Batak Toba. Kesannya kolonialisme banget. Memarginalkan suku lain lantas mensuperiorkan Toba sebagai asal induk semua orang bermarga. Dari sisi historis pun sebetulnya klaim seperti itu sudah tidak benar lagi. Salam dari seorang Simalungun yang konon leluhurnya pendatang dari Pagaruyung Sumatera Barat di abad XIV.
— Juandaha Purba, 29 Januari 2015, 00.33
Adat Karo berbeda dengan Adat Toba
Dari segi adat, pakaian adat, rumah adat, sudah jelas Karo bukan Batak (Toba?). Jika ada suku Karo yang kawin sama Batak (Toba?) pasti di buat marga yang orang Batak (Toba?)nya, sama seperti suku lainnya yang kawin sama org Karo. Dari situ sudah jelas bahwa Karo dan Batak (Toba?) tidak ada hubungan. Pesta adat pun harus 2 kali. Karo 1 kali dan Batak (Toba?) 1 kali.
— Cristiano Silangit, 7 Maret 2015, 13.04
Perbedaan Nama Suku disebabkan Tempat Tinggal.
Unang lilu hamu amang. Siraja Batak 2 anakna 2 boruna. 1. Guru Tatia Bulan dohot 2. Raja Isombaon. Molo Guru Tatia Bulan 5 anakna 5 boruna. Ala au marga Pasaribu jadi tarombokku do nahuboto. Jadi sian i do sude na i amang. Boasa didok Batak Toba, Simalungun, Karo, dohot lan na asig alana di daerah manang huta i do nasida tinggal manang marhuta. Jadi paganjang hamu ma di roha muna be amang. Mauliate.
— Pasrib Gusar 2 April 2015, 12.32
Marga Pakpak kerap Diklaim Berasal dari Toba
Kenapa marga-marga Pakpak kadang diklaim dari keturunan marga Batak (Toba?), padahal yang aslinya tidak ada sangkutannya dengan Batak (Toba?)? Marga Berutu contohnya yang diklaim dari keturunan Sinaga, padahal dari Marga Berutu sudah jelas asal usulnya darimana. Jadi sangat jelas bahwa Pakpak tidak ada sangkut pautnya dengan Batak (Toba?).
— Gaman Kesogihen, 1 Mei 2015, 08.22
Semangat Martarombo Tidak Sejalan Dengan Memperbaiki Bona Pasogit
Saya Simalungun tapi ada darah Toba-nya. Kalo ditanya “kamu sukunya apa…” saya bilang Orang Simalungun, karna saya punya “ahap Simalungun” Ada hal yang menarik perhatian saya tentang orang kita, baik Toba, Simalungun, Karo dan lain-lain. Jika membahas tarombo maka kita akan ber api-api merunut silsilah2 kita, itu-itu saja yang dibahas orang kita di perantauan ini. Banyak orang kita perantauan yang sukses baik di pemerintahan pengusaha, pengacara dan sebagainya, tetapi melihat Bona Pasogit kita, bagaikan bulan dan bumi, jauh sekali jaraknya. Semuanya hanya berkoar-koar menyebutkan asal kampungnya darimana, tapi hasilnya: marsipature hutana be.
— Sada Riahni 20 Oktober 2015, 13.39
Tak Mau Disebut Batak berarti Dalle
Angka dalle do i na mandok dang batak, siganjang dila na pamalo-malohon. Mangkatai tentang nenek moyang, hape tarombo na pe sodiboto, molo so porcaya age sungkun hamuna halak i. Ima angka si dalle siganjang dila. Sungkun jo Sinaga, Purba, tarlobi ma angka Sinaga, anggo halak i tegas do tu angka si dalle si songonon. Molo so porcaya hamuna, sungkun jo angka opung na 7 generasi sahat tu ginjang pasti do mogap.
— Dannyleon, 4 Desember 2015 05.58
Saragih bukan Saragi. Saragih itu Simalungun, Saragi itu Toba
Saya keturunan Simalungun-Jawa. Saragih sin Raya dan Klaten yang masih keturunan Mataram. Simalungun itu bukan Batak. Karena yang saya tahu, berdasarkan pusaka kuno simalungun “pusaka laklak” tidak ada hal yang menyatakan bahwa orang Simalungun berasal dari Toba. Seperti contohnya marga saya, yakni marga Saragih, yang sebenarnya dulu merupakan nama dari seorang Panglima kerajaan Nagur lalu menikah dengan putri dari Kerajaaan Nagur dan kemudian mendirikan kerajaan sendiri yaitu Raya. Nah hal ini yang menjadi cikal bakal keturunan Saragih Simalungun. Tentu berbeda dengan anggapan marga Saragi yang berasal dari Toba yang merupakan keturunan dari Parna. Namun orang Toba tetap mengklaim bahwa Saragih merupakan bagian dari Toba. Tapi yang kita tahu sampai sekarang “Saragih” dan “Saragi” itu tidak pernah dijadikan satu. Karena keduanya latar belakang yang berbeda.
Yang orang simalungun pasti paham yaitu dulu pada masa Kerajaan Simalungun terdapat banyak perantau2 dari daerah lain sehingga pada masa itu kerajaan simalungun membuat suatu ketentuan bahwa marga-marga yang bukan Simalungun harus diusir dari daerahnya. Itulah mengapa ada marga Saragih Sialagan, Saragih Simarmata, dan bla bla bla. Dan ada pula marga yang mengaku-ngaku sebagai Simalungun contohnya Sirait, Silalahi, and the “geng”nya. Dan setahu saya orang-orang yang berada di kampung ayah saya di Raya tidak ada yang tahu bahwa dirinya merupakan bagian dari Parna karena itu tadi mereka punya tarombo yang berdiri sendiri.
— Aryo Sanjoyo Saragih, 6 Maret 2016, 03.57
Marga sebagai Identitas Orang Batak
Dari beberapa komentar di atas, terlihat memang kata “Batak” disempitkan hanya menunjuk pada “orang Toba” saja, sehingga tentu saja pihak yang bukan Toba melihat diri bukan sebagai orang Batak. Tidak heran, karenanya kerap muncul antitesis yang mencoba memisahkan sejarah “penduduk-penduduk barbar penunggang kuda di wilayah Sumatera Timur” ini menjadi sejarah masing-masing sub-suku. Identitas Batak tidak eksklusif hanya untuk orang Toba saja, karena selain kemiripan dalam artefak sejarah, kelima sub-suku tadi disatukan dengan sistem marga dan tatanan sosial Dalihan na Tolu (Rakut Sitelu, Tungku nan Tiga), kendati dengan modifikasi disana-sini.
Dalam hal kekerabatan, suku Batak diikat oleh kelompok kekerabatan yang mereka sebut sebagai marga. Adapun kegiatan menelusuri silsilah garis keturunan marga disebut dengan istilah tarombo (Vergouwen, 1986). Salah satu sub suku Batak yang masih menjaga tradisi marga dan tarombo hingga saat ini adalah sub suku Batak Toba. Suku ini tersebar di empat wilayah Tapanuli, Sumatera Utara, yaitu Toba, Silindung, Samosir, dan Humbang. Marga Batak Toba adalah marga pada Suku Batak Toba yang berasal dari daerah di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di Balige, Porsea, Laguboti, dan sekitarnya (Vergouwen, 1986). Tetapi, marga juga terdapat di empat sub-suku lainnya, bahkan dengan traceability yang mengindikasikan kesamaan pengakuan akan marga di sana-sini. Harian bataktobanews.com, misalnya, pernah me-release daftar dari marga-marga yang disebut sebagai marga Batak (yang tidak hanya meliputi orang Batak Toba saja, tetapi juga Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola-Mandailing).
Garis marga tersebut diteruskan atau diturunkan oleh anak laki-laki, hal ini sesuai dengan sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh suku Batak. Jadi, jika keluarga Batak tidak memiliki anak laki-laki, maka marga-nya akan punah. Oleh sebab itu, anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga Batak. Sedangkan posisi anak perempuan atau perempuan Batak adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain (Vergouwen, 1986). Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat Batak dapat dikatakan lebih diutamakan dari kaum wanita, walaupun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah. Apalagi pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam hal pendidikan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini laki-laki di keluarga Batak toba masih memiliki peranan yang sangat penting dan kedudukan yang dianggap lebih tinggi.
Tugas penting yang mesti diemban ialah secara jujur menyerahkan sumber-sumber terpercaya tentang masing-masing marga yang ada di semua sub-suku Batak yang ada, kemudian melihat semua marga tersebut sebagai subjek sekaligus bahan kajian untuk menentukan posisi mereka dalam sejarah pembentukan identitas suku Batak, bukan sebagai bagian dari Toba saja, Simalungun saja, Karo saja, Pakpak saja atau Mandailing-Angkola saja. Beberapa peneliti mencoba melakukannya dengan mengambil sampel DNA lalu melakukan kajian genealogis atasnya, tetapi kerap terburu-buru menyebutkan bahwa perbedaan DNA dari sampel yang terbatas sudah cukup untuk menentukan status “Batak” atau “bukan-Batak”-nya seseorang. Padahal, Batak tidak merujuk pada individu semata, tidak pula harus total mengikuti mitologisasi a la Pusuk Buhit versi-nya orang Toba, melainkan sekelompok populasi dengan sistem kekerabatan dan tatanan sosial yang mirip bahkan identik, ditambah lagi dengan sejarah yang sama dalam konteks keterkucilan pada abad-abad lalu, lalu kini mencoba menunjukkan jati mereka ke dunia yang lebih luas.
Nah, menurut Anda sendiri, Batak itu apa?
Siapa saja yang disebut orang Batak?
(Disarikan dari berbagai sumber; direvisi pada 20 September 2016 tanpa merubah esensi tulisan)