Sebagai Parsadaan marga yang hingga saat ini mewadahi paling banyak marga diantara parsadaan lainnya yang umum dikenal dalam tataran sosiologis sub-subetnis Batak, tona atau pesan dari Nai Ambaton (yang kemudian diyakini secara turiturian sebagai leluhur bagi marga-marga tersebut), terlihat adanya indikasi untuk memberi antitesis atau setidaknya melihat ulang relevansi dari tona tersebut bagi kehidupan sosial dan privat dari insan-
insan yang mengenakan marga bersangkutan.
Umum diterima bahwa tona yang dimaksud berbunyi demikian:
Di hamu sude pinomparhu na mamungka huta di desa naualu di Tano Sumba, di na manjujung baringin ni Raja Harajaon ni Raja Isumbaon. Partomuan ni aek Partomuan ni Hosa.
Mula ni jolma tubu, mula ni jolma sorang. Asa tonahonon ma tonangkon tu ganup pinomparmu ro di marsundut-sundut. Asa sisada anak, sisada boru. Hamu sisada lungun, sisada siriaon, naunang, natongka, na so jadi masibuatan hamu di pinomparmuna manjujung goarhu Si Raja Nai Ambaton Tuan Sorba di Julu Raja Bolon.
Asa ise hamu di pomparanhu na mangalaosi tonangkon, tu hauma i sitabaon, tu tao ma i sinongnongon, tu harangan mai situtungon. Sai horas horas ma hamu sude pinomparhu di namangoloi podangki.
Dielaborasi dari teks ini kemudian muncul berbagai varian lagu yang umumnya menggunakan lirik berikut:
Padan ni Raja Naiambatoni
Ima padan na so boi oseon
Si ingoton ni angka pinomparnai
Taparrohahon mai denggan-dengganDitikki mambahen pesta parna i
Tung tarida do sada ni roha
Naso jadi marsiolian parnai
Taparrohahon mai denggan-denggan(Refrain):
Naimbaton ai ido Parna
Sitokka doi dainang
Sitokka doi dainang
Marsiolian..Ai molo di Simalungun parnai
Disaragihon ma disi margana
Lao muse tu Tano Karo parnai
Dibahen ma disi marga GintingAi molo ditano Pakpak Parnai
Dibahen ma didi Banurea
Lao muse ma da tu selatan parnai
Dibahen ma disi Dalimunthe(Refrain):
Sadia godang anak ni parna
Tung naso jadi doi marsiolianTung naso jadi doi marsiolian
Sadia godang boru ni Parna
Marga na asing do i hamulianna
Marga na asing do i hamulianna
Indikasi tersebut muncul seiring dengan pertanyaan logis yang barangkali kerap luput padahal cukup penting dipertanyakan terus menerus sebagai sikap kritis di tengah gempuran budaya dan semangat zaman kekinian terhadap kearifan-kearifan kultural Batak (dan karenanya pantas menempati ruang waktu dalam pembicaraan di setiap acara adat atau sekedar kombur di lapo) . Pertanyaan-pertanyaan yang logis dan reflektif seperti:
- Selain tradisi oral/ lisan (ninna tu ninna), apakah orang Batak bermarga Parna memiliki tradisi tertulis berupa laklak atau bentuk lainnya yang lebih valid untuk menyatakan bahwa tona tersebut benar diucapkan oleh Raja Naiambaton?
- Apakah tona tersebut sudah ditafsirkan secara univokal di antara para marga PARNA, termasuk dampak punitif yang akan dieksekusi terhadap anggota yang melanggarnya?
- Di tengah keniscayaan perubahan zaman yang turut membawa kritisisme kontinyu terhadap warisan budaya (termasuk genealogi di dalamnya), apakah PARNA memiliki sikap atau rumusan yang relatif berdaya tawar terhadap perubahan zaman?
- Bagaimana pula reaksi Parsadaan PARNA terhadap beberapa marga yang tidak mengakui marganya sebagai keturunan dari Raja Nai Ambaton, seperti beberapa marga dari subetnis Karo, yang dengan demikian tidak turut menjadi alamat dari tona tersebut?
Tentu saja ini hanya mungkin jika benar diakui bahwa bukan saja tarombo, tetapi bahkan seluruh khazanah kultural Batak tidak superior terhadap keniscayaan peradaban. Dengan kata lain, untuk tetap eksis, parsadaan PARNA dan parsadaan-parsadaan lainnya mesti bersedia membicarakan ulang sejauh mana mereka mereka mengartikan validitas dari pesan leluhur tersebut, termasuk efek punitif yang selama ini berlaku dalam bentuk sanksi sosial yang dianggap menyertainya kendati hingga saat ini tidak pernah dirumuskan mengikuti kaidah hukum positif.
Penulis sendiri belum menemukan sumber tertulis yang mencatatkan tona tersebut, selain dari lirik lagu di Youtube, kaset lawas yang penulis tidak ingat lagi pernah dengar dimana dan beberapa artikel di internet yang ditulis ulang dan disebarkan secara cukup masif.
Selain dari pembicaraan langsung dengan beberapa teman PARNA di dunia nyata, penulis menemukan juga indikasi tersebut dalam nukilan gagasan di blogosphere alias dunia internet. Perlu dicatat bahwa tidak ada intensi untuk langsung menyebut bahwa tona tersebut hanya rekayasa dari oknum tertentu yang bermaksud untuk menciptakan raison d’etre bagi kesatuan marga-marga Parna yang ada. Penulis hanya sekedar melaporkan temuan dari indikasi yang dimaksud di atas. Jika indikasi tersebut ternyata ditemukan di banyak tempat secara masif, barangkali adalah langkah yang arif jika PARNA sebagai kekuatan sosiologis yang cukup dominan di antara masyarakat Batak dengan ratusan marga yang ada, untuk duduk kembali dan membicarakan ulang dengan saksama makna dan relevansi dari tona ini. Satu hal jelas: Tona dari Pomparan Nai Ambaton tersebut hingga kini merupakan instrumen ide yang paling mujarab bagi persatuan marga-marga Parna yang ada baik di Bona Pasogit maupun di kalangan Batak diaspora (perantauan). Ia kerap lebih ampuh menyambungkan rasa antara sesama marga Parna yang baru bertemu dibandingkan dengan interesse lainnya seperti kesamaan status sosial, ekonomi, minat dan lingkup geografis.
Berikut beberapa komentar yang patut ditanggapi dengan bijak dan dijadikan refleksi bagi teman-teman PARNA.
Danil Simbolon: Leluhur, Saya Menghormati Kalian. Tapi Tolong, Jangan Atur Saya!
Saya ini batak. Iya, saya batak. Perkenalkan, saya punya marga, namanya Siallagan. Siallagan itu adalah salah satu marga yang masuk dalam PARNA alias punya kepanjangan Parsadaan Raja Nai Ambaton. Tak usah panjang-panjang lah saya jelaskan karena saya yakin anda yang bukan Batak pasti tetap saja tidak mengerti dengan jelas. Nah, dalam PARNA itu, ada banyak marga. Ada 68 marga. Sampai sini belum ada masalah.
Oke, ya. Nah, ini dia masalah nya. 68 marga itu gak boleh saling menikah! Siaaall!!!!! Siaaaalll!!!!! 68 marga itu harus menikah sama marga di luar PARNA!
Nah, coba kita realistis!
Sekarang, perbandingan laki-laki dengan perempuan berapa banding berapa? Ada 1 : 3. Benar, bukan? Nah, yang sedikit itu, masih harus dikurangi dengan yang gay, yang brengsek, yang udah punya gandengan! Sekarang udah tinggal dikit, masih harus dikurangi dengan urusan adat?
Baik. Baik. Beberapa boleh bilang, “Dulu juga manusia sedikit, dan PARNA masih lebih banyak. (Iya dulu PARNA lebih banyak. Sekarang jadi 68 karena ada beberapa yang punah). Tapi bisa saja mereka menikah tanpa harus melanggar adat.
Saya bingung kenapa itu masih bertahan sampai sekarang? Toh hubungan darah sudah jauh. Toh sekarang memang keadaannya laki-laki jauh lebih sedikit daripada perempuan.
Budaya memang harus dipegang teguh. Tapi saya rasa ada juga yang perlu dibenahi karena jaman pun terus berubah. Ada yang sudah tidak cocok lagi untuk dipertahankan sampai saat ini.
68 marga yang tidak bisa menikah dengan saya. Dan mau tidak mau, saya harus mencari di luar itu. 68 marga itu bukan marga yang jarang ada. Setengahnya adalah marga populer yang sering saya temui.
Akhirnya saya menceritakan ini pada ibu saya. Apa dia bilang? “Gak boleh!!! Itu abangmu!!! Cari yang lain! Gak harus batak, kan!?” Saya tidak mau jika bukan batak, saya tidak mau jika bukan dia.
Bagaimana jika saya bilang seperti itu? Kenapa saya harus menekan perasaan saya untuk sesuatu yang bukan fundamental untuk saya? Saya menghormati adat, tapi adat bukan jalan hidup saya. Bukan pelita hidup saya. Bukan sesuatu yang menyebabkan saya hidup dan bernafas.
Saya baca Injil, bukan baca buku adat. Saya nyembah Tuhan, bukan nyembah leluhur saya.
Setahu saya, di injil , tak ada larangan kawin dengan satu marga yang jelas-jelas jauh hubungannya. Apa saya salah?
Dari pengalaman ini, saya semakin belajar agar kelak, saya jadi orangtua yang moderat. Jika putri saya suka sama orang, dan orangnya ternyata masih satu keturunan marga dengan dia, saya tidak peduli. Saya akan selalu mendukung putri saya.
Karena cinta sesuatu yang indah. Dan terlalu indah untuk dirusak oleh persoalan adat. Karena cinta itu soal hati, abstrak, perlu kebebasan. Dan terlalu sempit jika diukur oleh norma. Karena persoalan cinta adalah persoalan saya dan dia. Bukan persoalan anda-anda yang bahkan tidak kenal dengan saya.
Melanggar adat takut dikucilkan?
Hah… Haha…
Dikucilkan bukan sesuatu yang mengerikan buat saya. Cibiran orang bukan sesuatu yang menarik buat saya, bukan sesuatu yang seru yang membuat saya rela untuk menanggapi itu.
Sekali lagi, saya menghargai leluhur saya.
Tapi maaf, saya juga punya jalan hidup sendiri. Dan saya pantas untuk menjalani hidup saya seperti apa yang saya mau.
Kalau leluhur saya boleh berkata,”Kalian adalah satu saudara, tidak boleh saling menikah, walaupun hubungan darah kalian jauh.” Saya pun boleh berkata,”Leluhur, maaf, kau sudah mati. Hentikan pesan mu yang kuanggap lebih sebagai kutukan. Karena aku mau menjalani hidupku dengan bebas. Maaf leluhur. Tapi, mohon, jangan atur saya.”
(24 Oktober 2013)
Alex Cardo: Hukum Adat Buatan Manusia
Apa yang dipersatukan Allah tidak dapat dipisahkan manusia. Hukum adat adalah buatan manusia. Tapi hukum Allah adalah yang kekal. Siapa yang menentang Allah karena adat, tidak akan bertahan lama. Aku menghormati adat, tidak salah dengan adatku dan aku bangga sebagai anak Batak. Tapi aku lebih bangga lagi karena ternyata Allahku yang membuatku bertemu dengan pasanganku.
(9 November 2015)
Jhoni: Karena urusan PARNA, Berdosa kalian!
Margaku juga masuk Parna. Tapi kenapa harus dipisahkan orang yang saling mencintai. Karna urusan PARNA, berdosa kalian! Tuhan saja tidak melarang kalau bukan saudara. Rubah itu tatanan PARNA, Gak masuk akal! Sering terjadi itu katanya yang sesama PARNA saling mencintai. Tertekan karena urusan begituan. Niat mereka baik tapi susah dibuat aturan yg tidak masuk akal.
(19 April 2016)
Portal Berita Karo: Nggak ada di Karo yang Namanya PARNA
Sekarang ini kebanyakan orang menyebut anak (perana) karo sebagai ucok, sebutan yang sudah sangat-sangat salah. Seharusnya kita menggunakan kata tongat. Kenapa istilah ucok sekarang populer di tengah-tengah orang karo? mungkin proses pembatakan yang terjadi secara alamiah.
Beberapa contoh yang juga salah digunakan:
Istilah Seharusnya
Ucok Tongat
Butet Ame
Batak Karo Karo
Horas Mejuah juah
Parna Ngga ada di karo yang namanya PARNA
Inang Nande
Saksang/Sangsang Lomok Lomok
Arsik Ikan mas gule/gulai
Yang ini, kendati tidak langsung menkonfrontir ide pelarangan perkawinan sesama marga Parna, tetapi bahkan lebih jauh dengan mengatakan bahwa marga-marga Karo yang dianggap sebagai bagian dari parsadaan Parna (Ginting dan sub-submarganya) tidak mengenal istilah PARNA.