Di dalam adat dan budaya Indonesia yang penuh dengan ras-ras suku, ada banyak tanda yang membedakan ciri-ciri setiap daerah dan kena dengan aspek kehidupan sosial yang konvensional yang sudah disepakati oleh komunitas adat leluhur tertentu. Sekarang sedikit orang yang masih mengembangkan kebudayaan mereka.
Bagi orang Batak, salah satu penanda itu adalah marga. Semakin banyak orang tidak mengetahui asal-usul marga-nya sendiri. Marga adalah tanda bahwa dia adalah suku daerah tertentu. Selain etnis Batak, etnis lain pun banyak yang mempunyai marga juga untuk maksud yang sama, yakni penanda bahwa si A adalah dari suku tertentu, bukan suku lain.
Marga juga menjadi instrumen sosialisasi yang sangat efektif. Bahkan bisa digunakan untuk berbagai kepentingan atau promosi, termasuk rentan untuk disalah artikan. Misalnya, aku adalah caleg dari partai B. Karena aku bermarga Haromunthe, maka aku mempromosikan partai B ini lewat persatuan marga. Promosi ini bisa smooth dan elegan, bisa juga terang-terangan, bahkan sering tanpa malu kelihatan memaksa. Ini salah satu di antara faktor lain kenapa orang Batak dengan jiwa sosial yang kuat ternyata susah lepas dari nepotisme dan koalisi. Bukan berarti promosi marga itu salah atau benar. Tetapi menggunakan marga sebagai instrumen promosi untuk kepentingan pribadi semata di tengah masyarakat yang semakin majemuk ini hanya akan menunjukkan bahwa sang promotor itu antara terlalu licik atau terlalu terbelakang pemikirannnya.
Marga akan punya peran yang tepat dan efektif jika dikembalikan pada maksud asal pembentukannya. Bagi orang Batak, se-marga bahkan maknanya dengan se-bangsa, yakni satu sejarah, senasib dan sepenanggungan. Maka, patut dikoreksi kembali: Jika aku semarga dengan si C, maka aku akan berupaya semampuku untuk membantunya tanpa harus melukai kemanusiaanku. Dan si C juga hendaknya tidak menuntut lebih hanya karena aku semarga dengan dia. Pada akhirnya, marga adalah bagian dari khazanah budaya Batak. Budaya, termasuk Batak, adalah bagian dari upaya memanusiakan manusia. Nilai manusia atau nilai kehidupan hendaknya selalu menjadi nilai tertinggi.
Tentulah pada dasarnya marga itu sama seperti nama keluarga. Kalau ayah kita memberi nama belakang yang sama dengan namanya, itu bukti penerimaan dia bahwa kita adalah anak-anaknya, dan sebaliknya: Kita juga mengenakan nama itu sebagai bukti penerimaan kita terhadap ayah kita.
Sedikit kelebihan marga bagi orang Batak dibanding marga pada suku lain adalah upaya orang Batak untuk mencari kekerabatan atau silsilah tarombo sampai selengkap-lengkapnya. Tidak banyak suku yang bisa menunjukkan sundut atau tingkat garis keturunan seperti yang dimiliki oleh orang Batak.
Tentu saja, jika diletakkan dalam konteks egaliter, bahkan sistem marga Batak pun tetap punya sisi yang harus diperbaiki. Karena marga memang hanya menjadi kebanggaan laki-laki dan bakal dibawa terus sampai mati. Tetapi, itu memang pilihan: Patrilinealistik atau matrilinealistik. Orang Minang, misalnya memilih sistem matrilienealistik.
Bagi orang yang tidak punya marga, mungkin akan melihat bahwa marga tidak begitu penting. Toh hubungan pernikahan dan keluarga tetap bisa berlangsung sekalipun tidak ada marga. Tetapi, bagi orang Batak yang sudah, sedang dan akan terus menggunakan marga, marga menjadi begitu penting.
Marga memudahkan satu-sama lain untuk bertutur sapa. Seorang Batak akan lebih mudah menggunakan sapaan yang tepat ke temann bicaranya: abang, appara, anggia, namboru, amangboru, among, inong, oppung, tulang, nantulang, bere, ibebebere, pahaoppu, dan lain-lain.
Lebih esensial lagi: Bagi orang Batak, marga adalah identitas.
Seorang Batak bernama Sirilus Haromunthe, misalnya tidak bisa menghilangkan satu dari dua kata yang terkandung dalam nama itu. Sirilus menjadi nama panggilan sehari-hari, dan Haromunthe menjadi penanda bahwa ia adalah orang Batak. Ia adalah anak dari seseorang yang juga bermarga Haromunthe. Ia adalah kakak dari seorang adik yang juga bermarga Haromunthe, dan adik dari kakak yang juga bermarga Haromunthe. Ia adalah paraman dari seorang namboru yang juga boru Haromunthe, cucu dari seorang kakek yang juga bermarga Haromunthe.
Bahwa Haromunthe secara turiturian dan tarombo Batak adalah keturunan dari Munthe Tua, ini adalah anugerah. Karena dalam lingkup yang lebih luas, kita bisa memperpanjang daftar kerabat kita. Bahkan jika diperluas lagi, daftar ini bakal lebih panjang jika dirunut lagi ke Pomparan Nai Ambaton, dan terus ke Si Radja Batak sebagai leluhur bagi semua orang Batak.
Menggunakan marga Haromunthe adalah sedalam dan sepenting itu.
Menolak Haromunthe sebagai marga berarti mengingkari identitasnya tadi:
* Ia mengingkari among-nya yang bermarga Haromunthe.
* Ia mengingkari abang atau anggi-nya yang bermarga Haromunthe.
* Ia mengingkari ito-nya yang bermarga atau boru Haromunthe.
* Ia mengingkari namboru-nya yang bermarga Haromunthe.
* Ia mengingkari ompung-nya yang bermarga Haromunthe.
* Ia mengingkari inong-nya menikah dengan marga Haromunthe.
Pengingkaran-pengingkaran sebanyak itu rasanya lebih dari cukup untuk tidak layak lagi menyebutnya sebagai orang Batak.